Malang, 31 Agustus 2025. Pelaksanaan hari ketiga Diklat Paralegal Tersertifikasi oleh LBH Rumah Keadilan langsung dibuka dengan penyampaian materi “Pengantar Hukum dan Demokrasi” oleh Bapak Dr. Ngesti Dwi Prasetyo, S.H., M.Hum. Dalam materi tersebut, beliau menyampaikan bahwa dalam sistem negara hukum setiap tindakan penyelenggaraan negara harus berlandaskan hukum terlebih dahulu. Beliau juga mengaitkan hal tersebut dalam konteks demokrasi, advokasi kebijakan yang ditetapkan pemerintah oleh masyarakat sipil merupakan wujud partisipasi politik. Lebih lanjut, beliau menekankan pentingnya Paralegal ditempatkan sebagai aktor pelindung HAM. Dalam praktiknya, paralegal tidak semata menggunakan perspektif hukum positif, tetapi juga pendekatan kemanusiaan.
Sesi materi kedua disampaikan oleh Nadya Dara Prasetyo, S.H., M.H dalam materi “Prosedur Hukum dalam Sistem Peradilan di Indonesia”. Sebagai advokat LBH Rumah Keadilan, diharapkan paralegal dapat menentukan kamar peradilan mana kasus yang ditangani apakah masuk dalam Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha negara, Peradilan Militer, maupun Peradilan Mahkamah Konstitusi. Dalam sesinya juga akhiri dengan diskusi kasus secara berkelompok yang melatih kerja sama antar lintas individu sehingga memperkuat argumentasi kasus yang sedang atau akan ditangani.
Pada sesi ketiga, peserta mendapat pembekalan “Strategi Personal Berhadapan dengan Permasalahan Hukum” oleh Fatwa Azis Wicaksono, S.H., CLA, Advokat LBH Rumah Keadilan. Dalam pemaparannya, pengenalan atas diri sendiri merupakan hal pertama yang dilakukan karena setiap individu memiliki keunikan masing-masing (self discovery). Paralegal harus selalu mengasah kapasitasnya dalam berkomunikasi, menganalisis, dan mediasi konflik terutama penguasaannya atas ilmu hukum yang akan berguna untuk memberikan solusi atas permasalahan hukum. Paralegal juga ditekankan untuk selalu menjaga etika profesional seperti integritas, objektivitas, menjaga kerahasiaan klien, dan amanah. Selain itu, paralegal perlu mengasah kemampuan manajemen konflik melalui penguasaan atas diri sendiri dan klien sehingga proses mediasi berjalan terarah, objektif, dan tidak emosional.
Pada sesi keempat diisi dengan penyampaian materi “Advokasi Kebijakan Publik” oleh Bapak Ria Casmi Arrsa yang merupakan Ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah. Dalam materi tersebut beliau menjelaskan bahwa advokasi kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan untuk memengaruhi proses perumusan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan agar berpihak pada kepentingan masyarakat luas Advokasi kebijakan publik berkaitan erat dengan prinsip-prinsip good governance, open government, pelayanan publik, negara hukum (rule of law), dan demokrasi. Dalam konteks advokasi, terdapat dua jalur utama yaitu litigasi dan non-litigasi. Jalur litigasi dilakukan melalui mekanisme hukum seperti judicial review, gugatan tata usaha negara, citizen law suit, maupun class action. Sementara jalur non-litigasi lebih menekankan pada penguatan masyarakat dan opini publik, seperti melalui executive review, community organizing (CO), community developing (CD), kampanye atau press release, serta asistensi. Advokasi kebijakan juga tidak terlepas dari pemahaman terhadap hierarki peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945, undang-undang atau perppu, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa. Agar strategi advokasi lebih efektif, penting untuk mengidentifikasi isu publik dan isu hukum yang terkait, memahami bentuk kebijakan publik yang ada, dasar hukum yang berlaku, serta permasalahan dan dampak yang ditimbulkan. Dari sana, strategi advokasi disusun untuk mencapai tujuan yang jelas dan terukur, serta dievaluasi untuk memastikan kesesuaian antara tujuan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai.