Oleh: Muhammad Rifan, SH.
Kita tahu bahwa start up merupakan anak kandung dari revolusi industri 4.0 yang merubah paradigma seperti: penyederhanaan pola bisnis model dan komponen organisasi; kemampuan mengkonversi sektor informal menjadi formal; dan bentuk baru primadona bagi lahan investor.
Kendati demikian, keberadaan start up di Indonesia wajib direspon dengan keberadaan hukum yang mapan. Yang berarti hukum merespon hal-hal tersebut tidak harus berasaskan case-by-case dan wajib mempertimbangkan masa depan prinsip ekonomi kerakyatan yang menjadi fondasi dasar perekonomian di Indonesia. Sehingga tuntutan atas sistem ekonomi kerakyatan yang sederhana itu mampu memberikan pelibatan seluruh lapisan masyarakat sebagai motor penggerak pembangunan nasional.
Fokus pada perihal investasi asing di Indonesia yang bersegmentasi pada perusahaan rintisan (start up). Politik hukum atas pemasukan investasi asing di sektor komoditi dagang berbasis digital sudah bukan lagi hal yang baru di Indonesia. Penggunaan kosa kata Unicorn di masa-masa ini akan tergambar beberapa perusahaan rintisan (start up) seperti Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak.
Dalam rentetan prestasi yang terjabar oleh media, perusahaan rintisan yang berada pada kasta unicorn telah berhasil menyelesaikan sejumlah permasalahan di Indonesia baik dari segi pembangunan infrastruktur, penyediaan tenaga kerja, maupun pengadaan teknologi. Gambaran umum atas penanaman langsung modal asing (foreign direct investment/FDI) ini tergambar dalam hasil capaian FDI di tiap tahun yang mencapai US$9 miliar – US$12 miliar dengan perkiraan 15%-20% dari angka tersebut senilai dengan US$2 miliar – US$2,5 miliar berasal dari investasi asing ke unicorn.
Kurang lebih demikian lirikan manis dari start up yang ada di Indonesia. Namun sayangnya, investasi asing dan kemudahan berinvestasi di Indonesia tidak dibarengi dengan komitmen yang cukup karena berbagai permasalahan lain yang dirasa sengaja dilangkahi. Garis besar atas politik hukum penanaman modal asing di Indonesia setidaknya mengalami beberapa ketidaksesuaian secara subtansi seperti minimnya harmonsisasi dan sinkronisasi, atau ketidaksesuaian langkah yang diambil.
Misal saja dengan pola bisnis yang berbeda, perusahaan rintisan (start up) yang berusaha menghasilkan aliran kas positif pasca memperoleh investasi tidak ditempatkan dalam posisi yang terang di mata hukum positif, seperti pemaknaan perusahaan rintisan (start up) itu sendiri yang sampai sekarang disamakan dengan UKM, maupun konfigurasi antara start up dengan pihak investor yang masih belum sepenuhnya diatur.
Di lain sisi, arus modal asing yang masuk menuju kantung dompet perusahaan rintisan tidak sepenuhnya tercatat di BKPM. Hal demikian terjadi lantaran tidak banyak yang sadar akan prosedur penanaman modal di BKPM. Pertumbuhan arus modal yang masif membuat BKPM over capacity untuk melakukan monitoring terhadap PMA. Sehingga pendapatan negara melalui kisah lirikan manis perusahaan rintisan baik melalui pajak maupun pembangunan yang dirintis oleh masyarakat dirasa kurang optimum karena keterlambatan ide dan komposisi baik secara struktur maupun subtansi dalam peraturan perundang-Undangan di Indonesia.