Oleh: Muh Sutri Mansyah
Saat ini politik telah menjadi konsumsi masyarakat pada umumnya, namun tidak jarang politik oleh banyak kalangan disalah tafsirkan dan disalah artikan semata sebagai cara mencapai kekuasaan dalam hal ini jabatan atau sekedar memperebutan kursi kekuasaan, Padahal politik sesungguhnya sebagai alat menggapai kondisi sosial yang layak. Politik adalah usaha mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan (Peter Merkl, 1967; dikutip dari Miriam Budiarjo, 2008, hlm. 15-16). Jabatan hanyalah alat untuk dapat menghasilkan kebijakan yang memihak kepentingan warga. Maka sasaran kebijakan haruslah demi kesentosaan bersama.
Dewasa ini Indonesia sedang mengalami kemerosotan perilaku serta moralitas politisi dalam berpolitik yang mulai bergeser menuju arah serta kondisi yang semakin melenceng dari cita luhur berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukkan negara tidak siap untuk menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan politik. Permasalahan yang dihadapi oleh negara cukuplah menantang dengan perilaku-perilaku yang dilakukan para politisi tersebut. Perlu diketahui bahwa untuk mewujudkan negara yang bersih dari korupsi tentunya memerlukan suatu inovasi atau gagasan baru untuk mencapai cita-cita itu. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa perilaku politik cenderung menuju arah pragmatisme belaka. Kondisi demikian semakin menantang untuk membangun politik integritas saat ini.
Intergritas politik diuji saat memasuki sendi-sendi peraturan. Sebagai contoh adalah ketika dibelakukannya UU Pemilihan Kepala Daerah yang baru yang menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung dalam artian bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah dipraktikkan pada Orde Baru, yang kemudian setelah itu berujung pada problem berkepanjangan dan pastinya menimbulkan suatu konflik baru di internal partai politik. Namun hal itu secepatnya diatasi oleh rencana Presiden SBY yang akan menerbitkan PERPPU yang bertujuan untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung atau tanpa mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perlu diketahui bahwa konflik yang terjadi tersebut seharusnya lebih mementingkan atau mengedapankan sikap kenegaraan dalam menyikapi konflik tersebut serta dibutuhkan kedewasaan politik dan menjaga ritme demokrasi nasional. Seharusnya kesetiaan serta loyalitas yang tinggi terhadap negara dan bangsa melebihi loyalitas terhadap partai adalah prisip yang harus dipegang teguh oleh seluruh partai politik.
Kemunculan konflik tersebut akan memberikan ruang atau celah untuk melakukan korupsi yang akan dimanfaatkan oleh para pemangku jabatan yang memiliki kepentingan pribadi (self interest) maupun kepentingan kelompok (group interest). Keadaan akan semakin sulit jika dihadapkan oleh perilaku atau moral para politisi yang memandang korupsi sebagai suatu kebiasaan (habit) yang lumrah. Dalam menyikapi realita yang terjadi saat ini, sejenak kita renungkan pernyataan salah satu the founding fathers bangsa kita Ir Soekarno yang menyatakan bahwa “ Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Pernyataan tersebut kiranya dapat menggambarkan permasalahan yang terjadi saat ini. Selanjutnya timbul suatu pertanyaan yang harus kita jawab bersama yakni apa saja faktor-faktor yang mengakibatkan politisi korupsi sehingga mengakibatkan tidak berintegritas?
Korupsi saat ini telah merenggut rasa kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Rasa kemanusiaan dimata para koruptor seakan hanya pepesan kosong tanpa memiliki makna apa-apa. Korupsi yang sudah tersistematis ditataran birokrasi semakin sulit untuk dilakukan pemberantasan dan pencegahan. Seakan korupsi birokrasi seperti tanaman parasit yang mana akan menjalar memenuhi setiap lingkungan yang cocok. Korupsi birokrasi semakin merajalela. Para politisi serta pemangku kekuasaan seakan-akan begitu mudah untuk melakukan korupsi. Keadaan ini semakin menunjukkan bahwa para pemegang kekuasaan atau politisi yang ada saat ini sangat minim bahkan miskin integritas.
Penulis berpandangan bahwa penyebab politisi yang melakukan korupsi adalah moral yang buruk, lemahnya keyakinan atau agama dalam mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama sehingga ketika dihadapkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajarannya maka akan lebih mudah untuk masuk dalam perbuatan tersebut seperti halnya praktek korupsi. Selain itu lemahnya peraturan dalam pemberian sanksi juga mengakibatkan para politisi yang akan melakukan korupsi tidak memiliki rasa takut untuk dihukum. Seperti yang terjadi di Provinsi Sumatra Selatan, lima pejabat daerah Kabupaten Bayuasin ditangkap oleh KPK dalam operasi tangkap tangan, pada kasus tersebut sekiranya menjadi salah satu contoh yang menggambarkan lemahnya hukum di Indonesia pada saat ini terlebih dalam pemberian sanksi pidana.
Menurut Syed Hussein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi (1975:46) bahwa korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor berikut: a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan tingkah laku yang menjinakkan korupsi. Sebagaimana yang dikatakan dalam peribahasa dan jepang. “Dengan berhembusnya angin , melengkuhlah buluh”, (b) kelemahan-kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. (c) kolonialisme. Suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi, (d) kurangnya pendidikan . (e) kemiskinan. (f) tiadanya tindakan hukum yang keras. (g) kelangkaan lingkungan untuk perilaku anti korupsi. (h) struktur pemerintah. (i) perubahan radikal, tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal (Syed Hussein Alatas, 1967; dikutip dari Miriam Budiarjo, 2008, hlm. 15-16).
Jika kita melihat dari sudut pandang agama, dalam setiap agama baik itu islam, kristen, budha, hindu, dan katolik, tentu akan kita temukan didalam setiap ajaran tersebut terdapat kesadaran yang kuat serta ancaman terhadap praktek korupsi yang berkembang terutama pada birokrasi, contoh ajaran islam dalam memandang korupsi yaitu menurut Surat Al-Baqoroh ayat 188 : “Dan Janganlah kamu memakan harta sebagian diantara kamu dengan jalan batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui”. Sekiranya ayat didalam Al-Qur’an tersebut telah memberikan suatu peringatan agar tidak ada seorang pun yang mengambil harta orang lain dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti halnya korupsi.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa dalam dinamika politik negara kita saat ini, harapan akan adanya politisi atau pemegang kekuasaan yang memiliki suatu integritas hanyalah merupakan utopia belaka. Jabatan yang diemban seseorang dapat saja disalahgunakan (abuse of power) salah satunya untuk melakukan korupsi. Terlebih lagi jika telah didukung dengan cara korupsi yang tersistem dengan baik maka akan sulit untuk dilakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi ditubuh birokrasi. Dampak yang ditimbulkan dari korupsi tentunya adalah kerugian negara serta mengakibatkan kemiskinan yang terjadi semakin meningkat.
Solusi utama untuk mewujudkan negara yang bebas dari korupsi adalah ketersediaan serta kehadiran sosok pemimpin atau politisi yang memiliki intergritas. Maka dari itu para politisi baik di daerah maupun pusat haruslah memiliki suatu kesadaran bahwa jabatan atau kekuasan yang diperoleh itu bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum bukan kepentingan pribadi maupun kelompo dan menerapkan transparansi keuangan, sehingga menjadi percontohan kepada bawahan-bawahan di birokrasi agar nantinya tubuh di birokrasi bebas dari korupsi. Fenomena banyaknya para politisi yang terjerat kasus korupsi yang terjadi dewasa ini tentu akan semakin memperburuk kondisi negara ini dan menjadikan tugas masing-masing partai politik untuk mempersiapkan kader-kader yang memiliki integritas semakin berat.(mnv)