Rumahkeadilan.co.id, Batu – Bertempat di Hotel Singhasari Resort, Batu pada 14 Mei 2018, tim Peneliti Rumah Keadilan yaitu Ladito Risang Bagaskoro,S.H.,M.H dan Solehuddin S.H.,M.H didaulat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk menjadi narasumber kegiatan kajian implementasi UU grasi dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang grasi yang diadakan oleh subdirektorat pelayanan hukum pidana dan grasi Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Peneliti Rumah Keadilan Malang
Dalam kegiatan tersebut, Peneliti Rumah Keadilan Malang, yaitu Ladito Risang Bagaskoro, S.H.,M.H memaparkan tentang Model Pengajuan Grasi Dalam Sistem Hukum Indonesia dan Amerika Serikat dan Solehuddin S.H.,M.H memaparkan tentang Implementasi Undang-Undang Grasi Dalam Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia.
Pada dasarnya Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak prerogratif yang telah dijamin oleh konstitusi negara, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu bentuk hak prerogratif tersebut adalah grasi. Ketentuan mengenai hak prerogratif berupa grasi disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Dasar pengaturan mengenai grasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 merupakan bentuk jaminan terhadap hak presiden.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2002
Lebih lanjut, pengaturan mengenai grasi di Indonesia diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang selanjutnya disebut UU Grasi. Berdasarkan UU tersebut, definisi grasi adalah grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden
Dalam implementasinya, UU Grasi terdapat beberapa kelemahan yakni yang pertama, perundangan tersebut, salah satunya adalah tidak adanya aturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai aturan teknis dan penjabaran lebih lanjut dari UU Grasi. Kedua, mencermati ketentuan putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 dimana mencabut ketentuan tenggang waktu pengajuan permohonan grasi sebagaiaman pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi banyak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan oleh jaksa selaku eksekutor putusan pengadilan, maka oleh karena itu maka kiranya perlu ada ketentuan pembatasan waktu bagi pemohon grasi seperti Undang-Undang No 3 Tahun 1950 karena lebih memberikan kepastian hukum untuk pelaksanaan pidana.