Oleh:
Muhammad Sutriman Syah
Pendahuluan
Korupsi saat ini semakin memperburuk kondisi negara dan menampilkan citra dimata negara lain menjadi buruk, upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi telah dilakukan berbagai formulasi yang diterapkan. namun masih tetap terjadi, hal ini tentunya sudah menjadi suatu budaya yang melakukan korupsi karena perbuatan tersebut yang dilakukan secara berulang-ulang, tentunya budaya yang dianut oleh seorang yang melakukan korupsi bukanlah merupakan hasil dari adat istiadat yang berlaku dalan sebuah kelompok masyarakat. namun yang terjadi pergerseran paradigma pada seorang tersebut, penulis yakin bahwa adat istiadat yang sudah berlaku sejak lama pastinya tidak mengajarkan anggota kelompok masyarakat untuk melakukan perbuatan koruptif, inilah yang menjadi permasalahan dewasa ini.
Mengingat sanksi yang diterapkan sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meskipun penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi telah diatur. namun belum menimbulkan efek jera terhadap para koruptor bahkan dewasa ini semakin parah dan ditambah dengan tersebarnya virus-virus korupsi dalam birokrasi, tentunya tidak ada yang mengingikan hal tersebut terus terjadi perlu suatu formulasi yang dapat menyelesaikan permasalahan korupsi, hal ini sebenarnya menggambarkan hukum nasional yang diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih belum dapat menjamin negara indonesia bersih dari korupsi.
Perlu peran kearifan lokal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi mengingat sebelum diberlakukan hukum nasional, tentunya setiap daerah memiliki hukum adat yang diberlakukan dalam suatu kelompok masyarakat. karena hukum adat yang dibentuk hasil dari masyarakat tersebut yang telah membumi dan menjadi suatu kesepakatan untuk diterapkan setiap anggota masyarakat, seperti halnya yang terjadi di Kesultanan Buton pada masa kekuasaan kesultanan buton yang memberlakukan hukuman gogoli atau hukuman mati terhadap orang melakukan penyimpangan, penjatuhan sanksi pidana tersebut disebabkan karena salah satunya melakukan korupsi. Namun sanksi tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan sejak 1960 sehingga pemerintahan kesultanan buton memutuskan untuk memberlakukan hukum nasional dan secara langsung berakhir juga masa kekuasaan kesultanan buton. Sehingga penulis kembali mengangkat sistem penjatuhan sanksi pidana adat yang diberlakukan di Kesultanan Buton, pada masa kekuasaan Kesultanan Buton sebagai upaya menemukan konsep penjatuhan sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari menimbulkan keterpurukan terhadap negara ini.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas muncul sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni “Bagaimana penjatuhan hukuman gogoli sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berbasis kearifan lokal (studi masa Kekuasaan Kesultanan Buton), dalam menjawab pertanyaan ini maka penulis menggunakan metode kajian pustaka berdasarkan perspektif masa Kekuasaan Kesultanan Buton.
Pembahasan
Kesultanan Buton memiliki sejarah panjang, hal ini berdasarkan dari sumber-sember diperkirakan berdiri sejak abad ke-14 oleh salah seorang imigran yang berasal dari semenanjung Melayu[1]. Menariknya jauh sebelum indonesia merdeka pada 1945 eksistensi buton sebagai sebuah negara telah ditulis oleh Empu Pranca (sastrawan Majapahit) dalam kitab Negarakertagama pada tahun 1364 yang menyatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut buton telah menjalin hubungan dengan kerajaan Majapahit[2], Dalam penyelengaraan kekuasaan Kesultanan Buton memiliki distribusi kewenangan yang seimbang antara dua lapisan sosial. pada struktur masyarakatnya, adapun dua lapisan tersebut adalah kaomu dan walaka, Kaomu memegang kekuasaan ditingkat eksekutif dan walaka memegang kekuasaan legislatif. Sedangkan lapisan papara yakni masyarakat yang berada didaerahnya masing-masing. Dalam menjalankan pemerintahan tentu terjadi dinamika dan permasalahan sering terjadi, yaitu kekuasan yang seweang-wenang dan hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, salah satu penyimpangan yang dilakukan oleh perangkat kesultanan adalah praktek korupsi.
Korupsi yang menjadi salah satu permasalahan di Indonesia yang sampai saat ini masih belum dapat menemukan formulasi yang dapat menanggulangan suatu tindak pidana tersebut, meskipun telah banyak peraturan perundang-perundangan yang mengatur tindak pidana korupsi. namun sayangnya hal ini masih belum memberikan suatu kepastian bahwa korupsi dapat dicegah ataupun diberantas hingga sampai akar-akarnya, inilah yang menjadi hambatannya, korupsi sudah jelas masuk dalam kategori kejahatan luar biasa dan kejahatan yang inkonvesional. maka dalam melakukan preventif dan represif seharusnya lebih serius dalam penangangannya, seolah hal ini membuktikan bahwa dalam penindakan belum mampu memberikan efek jera atau deterrence serta bukan lagi merupakan ultimum remedium atau obat terakhir yang memberikan jaminan tidak terjadi tindak pidana korupsi.
Maka oleh karena itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Diperlukan perhatian yang serius dalam menemukan formulasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, jika dilihat dari sudut pandang hukum pidana adat maka penulis akan mengambil penerapan hukuman gogoli sebagai sanksi pidana yang diberlakukan pada sistem peradilan kesultanan buton terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi dalam lingkungan pemerintahan kesultanan buton pada masa itu, sebelum lebih jauh melangkah maka penulis akan terlebih dahulu mendefinisikan hukuman gogoli, secara bahasa gogoli berasal dari kata “gogo” yang artinya kencang, sesak. Sehingga “Gogoli” secara istilah berarti ikat, dililit oleh sebuah tali secara kuat hingga kehilangan daya tahan tubuh sama sekali[3], “Kagogoli” berarti penjerat leher. “gogoli” termasuk dalam kategori hukuman mati atau hukuman dengan cara melilit seutas tali yang dibuat secara khusus keleher seorang dari dua arah yang berlawanan dan selanjutnya ditarik.
Dalam penjatuhan sanksi tersebut telah dinyatakan melanggar ketentuan yang berlaku dalam sistem peradilan kesultanan buton, seperti bertentangan dengan agama, nilai moral, nilai susila. tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang termasuk dalam ketiganya, dalam sistem penjatuhan sanksi pidana yang berlaku dikesultanan buton merupakan kompilasi yang berasal dari hukum islam dan hukum adat setempat. hal itu mengingat sebelum menjadi Kesultanan Buton dulunya menjadi kerajaan yang masih belum memberlakukan hukum islam nanti semenjak datangnya Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor sebelum ke Buton dan menyebarkan ajaran islam hingga akhirnya bertemu dengan kerajaan buton yang saat itu dipimpin oleh Raja Halu Oleo, singkat cerita Raja tersebut masuk islam dan mendapat gelar Sultan Murhum dan menjadi Sultan pertama, sehingga mulai saat itulah memberlaukan hukum islam dan berubah yang tadinya kerajaan dan menjadi kesultanan. maka oleh karena itu tidak heran jika banyak sanksi yang berlaku di Kesultanan Buton merupakan ciri khas dari hukum islam yang hampir sama berlaku di arab dulunya. Perihal penjatuhan sanksi pidana memiliki macam-macam hukuman, seperti dibawah ini:
- Karimbi (denda)
- Pekamate (hukum mati)
- Tatalima (potong Tangan)
- Kabebe Dara (pukulan cambuk atau rajam)
- Buso (pengasingan)
- Dodobiwi (melukai bibirnya)
- Kabatua/Kasimbatua (perbudakan)
- Gogoli (lilit tali dileher)
Namun penulis fokus pada hukuman Gogoli dalam penjatuhan sanksi pidana pada sistem kesultanan buton, adapun pada proses pelaksanaannya hukuman Gogoli[4] sebagai berikut:
Proses Pelaksanaan Hukuman gogoli dalam tindak pidana korupsi di Kesultanan Buton
Dalam penjatuhan sanksi hukuman gogoli, maka akan terlebih dahulu dijelaskan peranan dari pejabat pemerintahan kesultanan tersebut, yaitu:
Pejabat Pemerintah Pusat (Pangka)
- Oputa/Sultan
Memiliki dengan mata hatinya lautan kalbu hati nurani rakyat.
Menjadi penuntun dan memimpin dalam kerajaan dan diluar kesultanan
Menjadi Bapak Rakyat di dalam Kesultanan Buton
Memegang keadilan dalam arti memperbaiki sesuai atau tidak menurut adat asal bertujuan kebaikan yang banyak.
- Sapati
Bertindak sebagai Aroana Sara, yakni dari kesalahan hukum atau bicara dengan tidak memandang bulu kepada sultan sekalipun.
Dalango artinya penahan atau pelindung dari Sultan dan Rakyat
Salambi artinya menguatkan segala kesimpulan
Bararapu artinya meneguhkan pembicaraan yang telah menjadi ketetapan
Menilik lidah neraca artinya senantiasa berlaku adil
Menulik atas dua lautan yaitu batin sendiri kemudian rakyat.
Semua mufakat harus dipegang tegus tidak boleh dirubah dengan berpegang kepada dalil tidak merubah-rubah janji.
- Kenepulu
Merupakan pembantu sapati disamping tugas pokoknya mengurus harta warisan dan harta curian. Pada prinsipnya ada lima perkara kewajibannya yaitu: orang yang tidak kawin, harta yang dituntut anaknya, harta yang dituntut cucunya, harta yang dituntut cicinya, dan harta curian.
- Kapitaraja
Kapitaraja ada dua orang, masing-masing Kapitaraja Matanaeyo dan Kapitaraja Sukanaeyo. Kapitaraja mengepalai tentara kerajaan yang dinamakan “Kampanyia Patanguna”. Kapitaraja hanya mengenal menerima pemerintah satu kali saja dalam tugasnya mengamankan sesuatu kekacuan.
- Bonto Ogena
Bonto Ogena ada dua orangjuga, masing-masing Bonto Ogena Matanaeyo dan Ogena Sukanaeyo
Bonto Ogena karena adat adalah sebagai gundik dari sapati
Bonto Ogena adalah juga sebagai salah satu belah pedang dari rakyat Papara.
Bonto Ogena adalah sultan batin dari papara.
Bonto Ogena adalah menguasasi rakyat papara.
Bonto Ogena dinamai juga “Tolowiwi dari sapati” maksudnya pelanggaran yang dibuat oleh sapati, Bonto Ogenalah yang menentangnya menurut adat dan bila perlu ditiadaki.
Bonto Ogena bertanggung jawab atas 8 pasal tersebut dibawah ini yang berada didalam pengawasan dan tanggung jawabnya sebagai berikut:
- Weti atau pajak yaitu persembahan dari rakyat berupa hasil tanah.
- Bante juga berasal dari tanah yang dipersembahkan dari rakyat.
- Kabutu yaitu hasil tanah yang dipersembahkan rakyat.
- Pomua juga hasil tanah yang dipersembahkan rakyat.
- Kahoti Mamata juga hasil tanah yang dipersembahkan rakyat.
- Polanggana Kampua artinya pasar dan mata uang dari kerajaan yang terbuat dari kapas yang ditenun.
- Kalonggana Papara yaitu bantuan rakyat pada pesta sederhana yang diadakan oleh sultan berupa hasil perkebunan dan bila pesta besar diserta dengan uang.
- O-Aba Tee Posanga artinya bertanya dan minta izin
- Siliombona
Siliombona memili tugas sebagai berikut:
- Mempunyai hubungan dengan sultan yang genap menjadi sepuluh dan berasal jadi satu jelasnya bersaudara.
- Mengetahui kaum bangsawan dari ketiga aliran komboru-mboru.
- Mengetahui segala persoalan orang-orang besar kesultanan (pangkat)
- Mengetahui Pulanga Kaumu Walaka dan Bangsawan.
- Mengtahui kesalahan kecil maupun besar.
- Mengetahui Matalapu.
- Mengetahui segala ketentuan syariat.
- Berhak menegur dan menasehati kepada kaum yang melanggar adat.
- Siolimbona bergelar ulama dalam syarat Buton dan menjadi pimpinan dalam Adat Istiadat.
- Siolimbona wajib mengetahui dasar-dasar pelepasan dan pengangkatan pegawai kesultanan.
- Siolimbona wajib mengetahui dasar-dasar peradilan dan
- Siolimbona disebut juga tunggu-tunggu dari kadie yang dikepalainya.
- Siolimbona wajib mengetahui segala pembicaraan dengan segala sultan dan lain-lain pejabat kesultanan.
- Menteri Peropa dan Menteri Baluwu secara khusus wajib mengetahui kewajiban sultan yang 12.
- Menteri Peropa dan Menteri Baluwu disebut juga dalam adat manggedaina laki wolio, karena hubungannya yang erat sekali dengan sultan.
- Siolimbona wajib mengetahui asal usul kaum bangsawan dari walaka.
Dalam pemerintahan kesultanan buton terdapat pembagian kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif sehingga jauh sebelum bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia Kesultanan Buton telah menerapkannya, sehingga dalam perjalanannya sultan yang memimpin tidak menjalankan pemerintahan secara otoriter dan tentunya akan menimbulkan saling mengawasi antar lembaga dan terciptanya check and balances. terkait dengan terjadinya suatu permasalahan atau sengketa maka Kesultanan Buton memiliki sistem peradilan yang dapat ditempuh setiap orang yang bermukim didalam lingkup Kesultanan Buton, seperti ketika terjadi suatu tindak pidana maka yang akan menjadi jaksa ialah Sapati yang tentunya memiliki tugas untuk melukukan penuntutan segala tuduhan baik kepada Sultan maupun oleh masyarakat biasa. adapun menemukan keterangan kasus itu apakah tidak maka bersumber dari Bonto (Menteri) Ogena Inuncana dan Bonto (Menteri) Kanjawari atau secara langsung dilihat dengan mata kepala sendiri, Penentuaan tersebut berdasarkan empat komponen yang akan menjadi dasar dalam kasus yang hendak ditangani oleh lembaga-lembaga fungsionaris, yaitu: mempunyai sifat kebersamaan, tidak mengarah pada nilai religio-magis, hukuman kesultanan buton diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit,hukum kesultanan memiliki sifat visual.
Tata cara pelaksanaan hukuman Gogoli pada Kesultanan Buton, sebagai berikut:
- Penetapan tempat dan waktu pelaksanaan gogoli ditetapkan pada rapat paripurna yang dihadiri semua anggota dewan menteri, pangka, dan tertuduh serta undangan lainnya.
- Gogoli yang dijatuhkan berdasarkan suatu hasil putusan dari rapat paripurna yang dihadiri oleh semua anggota dewan menteri, pangka, dan tertuduh serta undangan lainnya yang dilaksanakan di Balairung atau dalam istilah buton disebut Baruga.
- Kompanyia Pataanguna (sebagai petugas eksekutor terhadap putusan tersebut) sehingga segera dieksekusi dalam waktu, tempat sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam rapat tersebut.
- Kompanyia Pataanguna bertanggug jawa atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan
- Dewan Sara yang akan menyediakan alat sebagaiman untuk keperluan pelaksanaan hukuman mati tersebut.
- Alat yang digunakan Kompanyia Pataanguna untuk mengeksekusi mati adalah tali yang terbuat khusus dari benang yang disebut Rabuta yang dikenal dalam dalam bahasa buton.
- Apabila terpidana mau menyampaikan sepatah dua kata maka pesannya tersebut dapat disampaikan pada saat rapat di Baruga atau pada detik-detik eksekusi ternyata terpidana mau penyampaikan sesuatu maka harus melalui Kompanyia Pataanguna dan ditindak lanjuti kepada yang ditujunya.
- Si Terpidana dibawa ketempat eksekusi gogoli dengan pengawalan yang cukup saja.
- Setelah pelaksanaan hukuman gogoli tersebut telah dilaksanakan dan mengakibatkan terpidana tersebut meninggal maka yang akan menguburkannya yakni petugas eksekusi atau yang telah disiapkan oleh Dewan Sara dan apabila pihak keluarga terpidana ingin menguburkannya maka diperbolehkan juga.
Maka demikianlah mekanisme dalam pelaksanaan penjatuhan hukuman gogoli yang berlaku pada zaman masa kejayaan Kesultanan Buton, perlu diketahui dalam penegakkan hukum di Kesultanan Buton sudah menjadi kewajiban oleh perangkat kesultanan agar mengsamaratakan kepada setiap orang. meskipun memiliki jabatan struktural dikesultanan buton harus dihukum seadil-adilnya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada kesultanan buton karena hal ini, “Sehubungan dengan penegakan hukum yang adil, maka janganlah membedakan jenis hukuman kepada seorang karena si terhukum orang berani, bangsawan, kaya, kuasa, kenalan atau anak kandungmu.”[5]
Penutup
Dalam penjatuhan hukuman Gogoli sebagaimana merupakan sanksi pidana yang diterapkan oleh Kesultanan Buton pada masa kekuasannya, dalam penerapannya pun tidak serta merta diberlakukan kepada semua orang. namun lebih pada perangkat Kesultanan Buton atau yang memiliki jabatan struktural mengingat dalam menjalankan kerap ditemukan pemimpin atau bawahan struktural yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai kesusilaan yang hidup dimasyarakat, seperti halnya tindak pidana korupsi maka jika terjadi seperti itu diperlukan hukuman yang setimpal. mengingat orang yang melakukan tersebut merupakan seorang yang berada dalam pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh untuk masyarakat, sehingga hukuman gogoli merupakan hukuman yang efektif. penulis memiliki saran bahwa dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang melakukan tindak pidana korupsi sangat diperlukan hukuman yang memiliki dampak efek jera terhadap si pelaku, agar tidak terulang kembali perbuatan itu dan memberikan rasa takut terhadap orang yang ingin melakukan tindak pidanan korupsi. serta dalam pemberlakuannya tidak hanya terbatas pada lingkungan Kesultanan Buton namun juga secara nasional pula diterapkan, mengingat tindak pidana korupsi sudah menjadi permasalahan yang dihadapi oleh negara indonesia yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan dan semakin menjadi memperburuk kondisi negara dewasa ini, sudah tepatnya pemerintah mencari formulasi penjatuhan sanksi pidana korupsi yang berbasis kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
– Askar. Sri Andriyani, 2010, Gogoli, Tinjauan Hukum Pidana Sistem Kekuasaan Kesultanan Buton, Skripsi, Baubau.
– Bibu Kari, 1993, Hukuman Gogoli Dimasa Kesultanan Buton, Skripsi, Buton.
– Ikram, Achadiyati, 2001. Katalog Naskah Buton Koleksi A.M.Zahari. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
– Niampe, La, 2009, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Kaimuddin, FKIP UNHALU.
– Zahari, A.M, 1978, Sejarah dan Adat Fiy Butuuni. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
– Zahari, A. M, 1984, Masalah Hukum Perdata Adat Wolio Buton. Depdikbud . Jakarta.
– Zuhdi, Susanto, 1997, Kerajaan-Kerajaan Tradisional di Sulawesi Tenggara; Kesultanan Buton. Depdikbud. Jakarta.
[1] Zahari, A.M, 1978, Sejarah dan Adat Fiy Butuuni, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[2] Zuhdi, Susanto, 1997, Kerajaan-Kerajaan Tradisional di Sulawesi Tenggara; Kesultanan Buton, Depdikbud, Jakarta.
[3] Zahari, A.M, 1978, Sejarah dan Adat Fiy Butuuni, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[4] Dikutip dalam Sri Andriani Askar, “Gogoli, Tinjauan Hukum Pidana Dalam Sistem Kekuasaan Kesultanan Buton”, 2010, Skripsi, hlm 30-46.
[5] Niampe, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Kaimuddin, FKIP UNHALU, 2009, hlm 87