Penulis: Eko Priadi, S.HI., S.H.
Konflik atau sengketa merupakan suatu hal yang sangat lumrah terjadi dalam kehidupan ini. Konflik merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan. Konflik akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian ataupun kepada pihak lain.
Sengketa sebagai bentuk aktualisasi dari suatu konflik atau pertentangan diantara dua pihak atau lebih tidak mungkin dibiarkan begitu saja, melainkan harus dicarikan jalan keluar atau penyelesaiannya sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Berkenaan dengan hal ini, pada dasarnya terdapat berbagai model penyelesaian sengketa, baik yang bersifat formal mapun informal, yang secara umum dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu secara adjudikatif, konsensual, dan quasi adjudikatif. Penyelesaian sengketa secara adjudikatif ditandai dengan adanya kewenangan pengambilan putusan yang bersifat win-lose solution oleh pihak ketiga atas sengketa yang berlangsung diantara para pihak. Penyelesaian adjudikatif dapat dilakukan melalui institusi Pengadilan atau. Penyelesaian sengketa secara konsensual ditandai dengan cara penyelesaian sengketa secara kooperatif dan kompromi untuk mencapai solusi yang bersifat win-win solution. Pihak ketiga dapat dilibatkan dalam proses penyelesaian sengketa jika diperlukan, namun tanpa kewenangan untuk mengambil putusan. Termasuk bentuk penyelesaian konsensual ini diantaranya adalah negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Sementara itu penyelesaian sengketa secara quasi adjudikatif merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif.
Disamping bentuk-bentuk tersebut di atas, juga terdapat dua bentuk penyelesaian sengketa perdata yang diakui dan dikembangkan di Indonesia, yaitu penyelesaian secara litigasi dan nonlitigasi. Penyelesaian secara litigasi merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui lembaga Pengadilan. Sedangkan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum serta kehendak dan itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Seiring dengan semakin tingginya kesadaran hukum masyarakat, terdapat kecenderungan dari para pihak untuk menempuh jalur litigasi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini berimplikasi pada semakin banyaknya perkara yang ditangani oleh Pengadilan sehingga penyelesaian suatu sengketa membutuhkan waktu yang lebih lama. Disamping itu, faktor besarnya biaya berperkara di Pengadilan juga menjadi hambatan tersendiri bagi para pihak dalam penyelesaian suatu sengketa. Dengan demikian asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan menjadi semakin sulit untuk diterapkan. Oleh sebab itu, kini mulai digalakkan alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa secara nonlitigasi di luar Pengadilan, yakni melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dikenal juga dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa. ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak. Namun demikian, penyelesaian melalui mekanisme ADR ini pada umumnya hanya diterapkan pada sengketa keperdataan saja.
Merujuk pada ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terdapat beberapa bentuk ADR yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, antara lain sebagai berikut:
a. Konsultasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan cara meminta masukan dari pihak yang diyakini mampu memberikan solusi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan bersama. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya.
b. Negosiasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan cara berhadapan langsung melakukan perundingan dan mendiskusikan secara transparan suatu masalah yang menjadi sumber sengketa untuk mencapai kesepakatan bersama, yang dilaksanakan secara mandiri oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.
c. Mediasi, yakni suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral sebagai penengah (mediator) yang bertugas untuk memberikan bantuan yang bersifat prosedural maupun substansial guna mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak.
d. Konsiliasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan caramelibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (konsiliator) yang berfungsi memperjelas fakta-fakta, membuat usulan-usulan penyelesaian, serta memiliki kewenangan untuk memaksa para pihak agar mematuhi dan menjalankan hal yang diputuskan oleh pihak ketiga tersebut.
e. Penilaian Ahli, yakni suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil kajian ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat keterangan mengenai pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.
Berbeda halnya dengan arbitrase atau pengadilan, dimana ada pihak ketiga yang mengambil keputusan, yang menjadi titik tekan dalam mekanisme ADR adalah penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan. Dalam konteks ini maka perlu adanya kekuatan mengikat dari kesepakatan APS. Oleh karena itu hasil kesepakatan ADR perlu mendapatkan penetapan Pengadilan kesepakatan tersebut dapat mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga tidak perlu lagi diulang atau diperiksa oleh Pengadilan atau Arbitrase.