Jl. Kembang Kertas IV Kav. 09, Kota Malang, Jawa Timur 65141
(0341) 490081
rumahkeadilan12@gmail.com

PERBERDAYAAN HUKUM : LEMBAGA BANTUAN HUKUM RUMAH KEADILAN PERKUAT PEMAHAMAN HUKUM TENTANG PERTANAHAN DI DESA SRIGONCO

Lembaga Bantuan Hukum Rumah Keadilan, Malang – Senin, 20 Maret 2023, melaksanakan kegiatan pemberdayaan hukum dalam percepatan sertifikasi wakaf di Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Pemberdayaan ini diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Srigonco bekerja sama dengan LWP NU Kabupaten Malang dan LBH Rumah Keadilan. Pemberdayaan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, baik perangkat desa, ulama, maupun masyarakat umum mengenai pentingnya memahami hukum seputar hak atas tanah yang umum digunakan sebagai objek wakaf.

Dalam materi pemberdayaan hukum, masyarakat diberi pemahaman mengenai aspek hukum dalam hak atas tanah sebagai objek wakaf yang diisi oleh tim akademisi LBH Rumah Keadilan, Bapak M. Akbar Nursasmita, S.H., M.H., yang merupakan dosen Universitas Brawijaya. Selama sesi diskusi, ada banyak persoalan seputar pertanahan yang didiskusikan bersama masyarakat selama kegiatan berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan tanah memang merupakan permasalahan yang krusial ditengah masyarakat.

Salah satu kasus yang dialami oleh salah satu warga adalah ketika terjadi jual beli tanah secara bawah tangan oleh seorang istri setelah suaminya meninggal tanpa persetujuan para ahli waris, kemudian pembeli menguasai tanah tersebut dan kemudian dikelola selama bertahun-tahun. Dalam berjalannya waktu, pihak pembeli atau pemilik tanah yang baru tersebut ingin membalik nama atas kepemilikan tanah tersebut yang dahulu didapatkan dari jual beli secara bawah tangan. Ketika sedang dalam proses balik nama bersama para ahli waris dari mantan pemilik tanah tersebut, terjadi perselisihan dimana salah satu ahli waris tidak setuju atas penjualan tanah yang terjadi sejak dahulu tersebut. Alasannya, tanah tersebut dahulu pada dasarnya masih berstatus tanah warisan yang tidak bisa begitu saja dialihkan atau diperjualbelikan oleh sang ibu. Dalam kasus ini, setidaknya ada dua cangkupan yang dapat dibahas, yaitu dari segi harta waris serta dari aspek perjanjian.

Dalam perspektif hukum, jika seseorang telah meninggal dan ia memiliki harta semasa hidup, maka harta tersebut menjadi harta warisan yang kemudian akan berpindah kepemilikannya kepada anggota keluarga/saudaranya sebagai ahli waris. Suatu harta warisan pada dasarnya dapat diperjualbelikan apabila semua ahli waris telah memberikan persetujuan. Sebab, seluruh ahli waris merupakan pemilik dari harta warisan tersebut yang dimiliki secara bersama-sama.

Apabila ditinjau dari aspek hukum perjanjian, maka berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 (empat) syarat sah perjanjian, yakni mencakup kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria mengatur jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[1] Dengan demikian, terhadap jual beli tanah harus dibuat secara tertulis dan dibuat dihadapan PPAT.

Dalam kasus pertanahan di atas, tanah warisan tersebut dijual tanpa persetujuan ahli waris. Sedangkan dalam segi hukum, perjanjian dapat dinilai sah jika terdapat kesepakatan antara para pihak. Jika objeknya berupa tanah waris, maka perjanjian dapat sah jika seluruh ahli waris memberikan persetujuan, sebab objek tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh semua ahli waris. Sehingga perjanjian jual beli yang tidak memenuhi unsur kesepakatan para pihak sebagai unsur subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan pihak pembeli berhak mendapatkan uang pembayaran kembali.

Adapun perjanjian jual beli dengan objek tanah sebagaimana kasus diatas, maka seharusnya jual beli dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan menghadirkan semua pihak, termasuk semua ahli waris untuk memberikan persetujuan. Dari segi keabsahan perjanjian, jual beli tanah yang dilakukan dibawah tangan adalah sah menurut hukum, namun memiliki kekuatan pembuktian yang sangat lemah sehingga rawan timbul permasalahan dikemudian hari sebab mudah untuk disangkal oleh pihak lain yang berkonflik. Oleh sebab itu, sudah seharusnya segala bentuk perjanjian yangmana tanah sebagai objeknya, harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang serta perlu bagi masyarakat untuk memeriksa dan memastikan bahwa tanah yang dimilikinya mempunyai bukti kepemilikan yang sah dan kuat, sehingga bukan hanya sah secara hukum namun juga memiliki kekuatan hukum yang kuat.

 

Penulis : Rivqyvirdausa

 

[1] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria

0Shares

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *