Assalamualaikum dan Selamat siang. Saya seorang ibu yg tidak terikat pernikahan sah secara hukum agama. Saya menikah siri tahun 2012. Dr pernikahan tersebut lahir seorang putri ditahun 2014. Saya membuat akta kelahirannya ditahun 2017 dengan mengatasnamakan ibu saja sebagai orang tuanya. Suami saya masih terikat pernikahan dengan istri pertamanya, tetapi sudah berpisah rumah sejak tahun 2008. Perceraiannya sulit untuk diurus karena kendala biaya. Karena istrinya tinggal dijakarta, dan suami saya diMalang. Sehingga untuk perceraian tersebut, biayanya bertambah berat ketika ditambah biaya penginapan selama pengurusan,transport dan juga waktu bekerja yang harus ditinggalkan. Nah, setelah saya membuat akta kelahiran anak saya. Bagaimana caranya agar di KK anak saya tertulis nama ayahnya? Karena saya berpikir, KK ini akan terus terpakai sampai dia bekerja,menikah. Jadi kasihan kalau nama ayah kosong. Haruskah kami menikah resmi dahulu? Jika iya, bisakah laki2 mengajukan gugatan perceraian dr kota domisili laki2 saja bukan dr domisili pihak istri? Jika bisa mohon dijelaskan bagaimana caranya? Terimakasih sebelumnya
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan.
Ketentuan terkait pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Selanjutnya, pada ayat (2) di pasal yang sama diatur mengenai kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan undang-undang yang berlaku. Perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa telah terjadi pernikahan, bukan yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Ketentuan inilah yang menjadikan anak atau istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara. Oleh karena itu pernikahan yang dilakukan secara sah menurut agama namun tidak di catatkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku maka pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak diakui oleh Negara.
Adapun implikasi hukum terhadap pernikahan yang tidak dicatakan sesuai ketentuan UU Perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan siri (tidak dicatatkan) maka dianggap sebagai anak luar kawin, akibatnya anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. anak luar kawin dapat memiliki hubunga perdata dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan/teknologi sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Perkawinan.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (3) diatur mengenai itsbat nikah yang esensinya yaitu pernikahan yang sebelumnya tidak tercatat jadi tercatatkan. Bagi pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan secara sirri atau tidak dicatatkan secara hukum yang berlaku maka mereka dapat mengajukan itsbat nikah di pengadilan agama. Itsbat nikah adalah permohonan pengesahan penikahan yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum. Jika itsbat nikah tersebut dikabulkan maka hak-hak suami, istri dan anak-anaknya terjamin oleh hukum termasuk kepemilikan akta kelahiran bagi anak tersebut dapat dicantumkan nama ayahnya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan itsbat nikah adalah sebagai berikut:
- Menyerahkan surat permohonan itsbat nikah kepada pengadilan agama setempat
- Surat keterangan dari kantor urusan agama setempat yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan
- Surat keterangan dari kepala desa atau lurah yang menerangkan bahwa pemohon telah menikah
- Fotocopy KTP pemohon itsbat nikah
Perlu digarisbawahi bahwa ketentuan tentang itsbat nikah di atas hanya dilakukan secara normal bukan pada itsbat nikah poligami. Adapun untuk itsbat nikah poligami, persyaratan yang diajukan pada prinsipnya sama dengan itsbat nikah akan tetapi hakim akan memutus apakah itsbat nikah tersebut ditolak atau dikabulkan mengingat hakim akan berlandaskan pada asas kemanfaatan dan keadilan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapaun berkenaan dengan perkara cerai talak, seorang suami yang hendak menceraikan istrinya harus melakukan gugatan cerai talak itu ke Pengadilan Agama, yang berisi tentang permintaan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang guna mengabulkan dan menyaksikan ikrar talak. Dengan adanya ikrar talak yang dilakukan di depan sidang pengadilan Agama oleh suami, maka perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 129 KHI, Permohonan cerai talak diajukan kepada pengadilan agama dimana termohon (istri) bertempat tinggal (pengadilan daerah hukum termohon), jika termohon meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin pemohon (suami), permohonan itu dapat diajukan kepada pengadilan agama di wilayah tempat tiggal suami (pemohon). Begitupun jika termohon tinggal di luar negeri permohonan itu dapat diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal pemohon. Sehingga berdasarkan pasal tersebut diatas, maka suami anda harus mengajukan permohonan/gugatan cerai talak di Pengadilan Agama Istri yang pertama.
Demikian tanggapan dari kami, semoga bermanfaat.
Sumber Rujukan:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Kompilasi Hukum Islam
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010