Rumahkeadilan.co.id – Dalam pernikahan, harta merupakan hal yang sangat berpengaruh. Terutama ketika pasangan suami istri memilih untuk mengakhiri pernikahan (bercerai), sehingga harta yang mereka miliki sebelum menikah dan setelah menikah akan memiliki status yang berbeda.
Di sisi lain, terkadang suami istri memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda, sehingga tak jarang masing-masing dari mereka telah memiliki harta sendiri yang diperoleh sebelum menikah. Oleh karena itu, dalam perkawinan dikenal dua macam harta, yakni harta bawaan dan harta bersama.
Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa yang dimaksud harta bawaan adalah:
“Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Jadi yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta yang dimiliki masing-masing suami istri sebelum terjadinya perkawinan termasuk harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Berbeda dengan harta bersama, dimana harta bersama diperoleh selama perkawinan sehingga sepenuhnya berada pada penguasaan masing-masing suami istri.
Harta bersama juga sering disebut harta gono-gini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disebut dengan harta gono-gini secara umum yaitu harta yang dikumpulkan selama berumah tangga, sehingga harta tersebut menjadi hak milik berdua (suami istri). Mengenai harta bersama dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 bahwa:
“harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama”
Artinya harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini. Selain itu, dijelaskan pula dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa:
“sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami dan istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-katentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri.”
Untuk memastikan kepemilikan harta bawaan masing-masing agar tidak tercampur dengan harta bersama, maka pasangan suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau ketika perkawinan berlangsung. Perjanjian ini dibuat bertujuan untuk mengatur akibat dari perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri. Dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pada waktu, sebelum perkawinan dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris , setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pada umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat dalam hal:
- Apabila salah satu suami istri memiliki kekayaan yang lebih besar.
- Masing-masing suami istri membawa harta bawaan yang cukup besar.
- Suami istri masing-masing memiliki usaha sendiri, jika salah satu bangkrut maka yang tidak terkait dalam hal ini.
- Masing-masing suami istri akan bertanggung jawab terhadap hutang yang telah dibuat sebelum perkawinan.
Apabila terjadi perceraian, akibat hukum yang ditimbulkan akan berbeda antara adanya perjanjian perkawinan dan tanpa adanya perjanjian perkawinan. Jika pasangan suami istri menggunakan perjanjian perkawinan, maka harta yang diperoleh ketika terjadinya perceraian adalah sesuai bagian masing-masing yang telah disepakati dalam perjanjian perkawinan. Apabila suami istri tidak menggunakan perjanjian perkawinan, maka ketika terjadi perceraian harta tersebut akan dibagi secara merata antara keduanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi perceraian, pembagian harta tanpa adanya perjanjian kawin dibagi antara suami dan istri secara merata. Sedangkan apabila terdapat perjanjian perkawinan maka tidak ada pembagian harta bersama oleh keduanya, masing-masing pihak akan memperoleh harta yang terdaftar atas nama pribadi.
Penulis : Tazkia Nur Azalia (Mahasiswa PKL UIN Malang 2021)
Editor : Admin Rumah