Penguatan Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Memenuhi Akses Keadilan Bagi Masyarakat Rentan Ditinjau Dari Perspektif Negara Hukum
oleh:
Arief Heryogi[1], M. Nasrullah[2]
ABSTRAK
Kasus-kasus hukum sangat banyak terjadi di daerah yang menimpa masyarakat rentan. Dasar hukum pemerintahan Daerah adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) meskipun tidak secara eksplisit menyatakan untuk penyelenggaraan bantuan hukum di daerah namun dengan Adanya kewenangan daerah dalam mengurusi urusan rumah tangganya tentu diharapkan dengan mudah memberi perlindungan dan memberikan keadilan bagi masyarakat rentan.
LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki kepentingan yang masing-masing berbeda. Dalam praktiknya tentu selalu ada benturan kepentingan sehingga terkadang terjadi konflik antar sesama manusia. Disinalah Hukum hadir sebagai pedoman untuk mengatur pergaulan antar manusia sehingga tercipta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Pada dasarnya, “masyarakat membutuhkan hukum sebagaimana halnya mereka membutuhkan dokter.Hukum merupakan “rules of the game”,[3] aturan-aturan permainan yang akan mencegah atau menghalangi penguasa dan manusia biasa berbuat sewenang-wenang. Hukum merupakan batas-batas kebebasan individu dan penguasa dalam setiap interaksi kemasyarakatan, sehingga hukum akan merupakan perlindungan atas ketentraman umum dan keadilan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan manusia.
Pada masa sekarang ini, hampir semua negara-negara di dunia menganut negara hukum, yakni yang menempatkan hukum sebagai aturan main penyelenggaraan kekuasaan negara dan pemerintahan. Sebagai negara hukum, sudah barang tentu “memiliki” hukum administrasi negara, sebagai instrumen untuk mengatur dan menyelenggaran tugas-tugas pemerintahan negara. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Sesungguhnya, yang memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri.[4] Termasuk Indonesia mengikrarkan diri sebagai negara hukum, hal ini termaktub dalam UUD NRI 1945 membuat Posisi hukum kian penting sebagai pedoman hidup bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga senantiasa hukum harus ditegakan dan diterapkan seadil-adilnya tanpa pandang bulu.
Dalam pelaksanaannya tidak semua golongan masyarakat mendapatkan akses keadilan yang sama. Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi tetap medominasi keadilan. Mendominasi disini diartikan bahawa ketika mengalami permasalahan hukum mereka dapat dengan mudah mencari pengacara untuk meminta bantuan hukum. bagi mereka yang kurang secara finansial akan berpikir ulang untuk meminta jasa pengacara mengingat biaya pendampingan yang relatif tinggi bagi mereka. Akses pemerataan keadilan bagi semua rakyat akhirnya terganjal dan tak kan terwujud.
Konsep akses terhadap keadilan di Indonesia diartikan sebagai keadaan dan proses dimana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi bagi setiap warga negara (claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun non formal, didukung oleh mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang baik dan responsif agar dapat memperolah manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya yang bertujuan adanya pencegahan dan penanggulangan kemiskinan[5]
Menurut Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain, tetapi belum didukung dengan komitmen bersama yang kuat untuk menerapkan instrumen-instrumen tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama hak hak kelompok rentan. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak- anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference 3 disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. MigrantWorkers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara adalah upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai manifestasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (acces to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Pemberian jaminan dan perlindungan tersebut merupakan salah satu dasar pertimbangan penyelenggaraan bantuan hukum di daerah. Dasar pemikiran jaminan dan perlindungan acces to justice dan equality before the law ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum.[6]
Di dalam era otonomi daerah sekarang ini, segala urusan pemerintahan tidak lagi diatur dan dilaksanakan secara sepihak oleh pemerintah pusat (sentralistik). Demi mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan di daerah, kini masing-masing daerah berhak memiliki pemerintahan sendiri dengan berbekal kewenangan otonomi yang diberikan oleh undang-undang dasar.[7] Masing-masing pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berhak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dengan bersadarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.[8]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 (tiga) urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Berikut adalah bagan pembagian urusan pemerintahan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
PEMBAHASAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan hukum tertinggi atau suatu pedoman (guidance) yang wajib diikuti oleh segenap bangsa Indonesia dalam mengatur dan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya telah disusun suatu rumusan yang komprehensif dan sinergis mengenai kedaulatan rakyat dan negara hukum. Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 menentukan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar” yang kemudian disambung oleh ayat berikutnya, Pasal 1 Ayat (3), yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Menurut Plato, konsep negara hukum dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik atau yang dikenal dengan istilah nomoi.[9] Berawal dari ide negara hukum inilah kemudian muncul suatu konsep yang disebut dengan nomocracy. Kata nomocracy berasal dari nomos yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan. Dengan demikian tata cara penyelenggaraan negara dan pemerintahan seyogyanya ditentukan dan dilaksanakan berdasarkan norma atau hukum. Dalam nomokrasi, kedaulatan dan kekuasaan tertinggi adalah prinsip dan aturan hukum. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa,[10]
“gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Akses keadilan merupakan hak asasi manusia dari setiap warga negara. Oleh karena itu negara wajib untuk memenuhi sebagai manifestasi Indonesia sebagai negara hukum. dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Siapapun tidak boleh bertindak tidak adil dan siapapun berhak atas suatu keadilan.
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘ affirmative actions’guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.[11]
Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk meperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” merupakan rumusan dasar diberlakukan sama bagi setiap warga Negara Indonesia dimuka umum, baik dalam segi social ekonomi, politik dan hukum. Keadilan dalam hukum saat ini memang merupakan masalah rumit yang kiranya hamper dijumpai dalam setiap masyarakat. Hal ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa tugas utama hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum, bukan untuk mencapai keadilan, sehingga hal ini menjadi sulit untuk mencapai suatu keadilan bagi setiap orang terutama masyarakat miskin.
Setiap orang berhak untuk mendapatkan keadilan terutama masyarakat miskin yang pada realitanya keadilan tidak berpihak pada masyarakat miskin. Salah satu cara untuk mendapatkan keadila bagi masyarakat miskin adalah dengan bantuan hukun. Istilah bantuan hukum mungkin sudah sangat familiar di telingan kita. Kebutuhan orang akan bantuan hukum jauh lebih besar karena hal ini seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia yang justru menelan banyak korban, khususnya masyarakat rentan. Sehingga hal ini butuh dibantu dalam perpestif hukum dalam keadaan tertentu.
Sengketa hukum tersebut terjadi tidak hanya antara si miskin dan si kaya, namun disebabkan pada pembangunan yang tidak melihat kebutuhan dan dampak pembangunan itu sendiri. Bantuan hukum di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada payung hukum yang mengatur bantuan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Menurut pasal 1 angka 1 bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Sejarah bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari kondisi masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan hukum. Bantuan hukum yang kita kenal saat ini tidak dikenal pada sistem hukum tradisional. Konsep bantuan hukum baru dikenal ketika diberlakukannya Hukum Barat di Indonesia. Dengan menganut asas konkordansi, berdasrkan firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 yang baru diberlakukan di Negeri Belanda juga diberlakukan di Indonesia. Dalam aturan tersebut, pertama kalinya mengatur tentang Lembaga Advokat yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang Eropa di dalam peradilan yang disebut Raad van Justitie. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya lembaga bantuan yang didirikan oleh advokat pertama bangsa Indonesia yaitu Mr. Besar Mertokoesoemo yang berada di Tegal dan Semarang sekitar tahun 1932.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam hukum bangsa Eropa merupakan nilai-nilai yang bersifat individual-liberalistik. Sehingga hal ini berbanding terbalik pada bangsa Indonesia yang mempunyai nilai-nilai komunal-religiustik. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan bangsa Indonesia yang sangat ramah dan suka membantu. Dalam arti yang sempit bahwa bantuan hukum yang ada di Indonesia juga lahir dari kebiasaan tersebut atau secara popular disebut sebagai Masyarakat “Gotong Royong”. Masyarakat gotong royong membantu dalam segala hal termasuk pada saat terjadi konflik yang dianggap bertentang dengan nilai-nilai keharmonisan dan berbahaya bagi nilai tersebut, masyarakat cenderung untuk ikut membantu menyelesaikan konflik tersebut. Sehingga dalam hal ini nilai bantuan hukum masuk di dalamnya.
Kasus-kasus hukum sangat banyak terjadi di daerah yang menimpa masyarakat rentan. Dasar hukum pemerintahan Daerah adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Adanya kewenangan daerah dalam mengurusi urusan rumah tangganya tentu diharapkan dengan mudah memberi perlindungan dan memberikan keadilan bagi masyarakat rentan. Berkaitan dengan kewenangan daerah yang kemudian dibuat dalam bentuk kebijakan daerah , urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah kemudian dibagi menjadi 2 bagian, pertama urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan wajib ini kemudian dibagi lagi dalam 2 bagian, pertama, urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayananan dasar dan urusan pemerintahan wajin yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Arti dari urusan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah dan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayananan dasar ini, mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum , penataan ruang, perumahan rakyat, kawasan pemukiman, ketertiban umum dan masalah sosial. Daerah diwajibkan memprioritaskan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan urusan diatas berpedoman pada standar pelayananan minimal yang ditetapkan pemerintah pusat dalam bentuk peraturan pemerintah .Standar pelayanan minimal sendiri adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.[12]
Kewenangan pembentukan Perda merupakan kewenangan atributif yang diberikan UUD 1945 kepada pemerintahan daerah. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sebagai peraturan otonom, Perda dapat saja mengisi hal-hal yang belum diatur dalam UU Bantuan Hukum dengan menambah ruang lingkup Penerima Bantuan Hukum. Perda sebagai pelaksana UU bantuan hukum dapat mengatur lebih spesifik dan detail mengenai kebutuhan dan aspek lokalitas di masing-masing daerah. UU Pemda
Kesempatan untuk mendapatkan keadilan (access to justice) meskipun sudah dibatasi pada pengertian bantuan hukum (legal assistance) bagi si miskin, sebenarnya yang menjadi masalah utama untuk mendapatkan keadilan bagi orang yang tidak mampu adalah bukan hanya masalah hukum an sich, melainkan juga masalh politik. Masalah politik mempengaruhi dari setiap masa periode kepemimpinan yang cenderung berubah. Selain polilitk, juga terdapat masalah ekonomi juga menajdi masalah tersendiri karena disebabkan oleh kemiskinan yang yang cukup luas, tingkat buta huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk. [13]
Konsep bantuan hukum di Indonesia sebagaimana diketahui merupakan hal yang baru dalam dunia advokasi di Indonesia. Hal ini memang disebakan oleh lahirnya bantuan hukum berawal dari didirikannya Lembaga Bantuan Hukum pada zaman penjajahan yang hanya terfokus pada orang Eropa yang menyebabkan konsep dan cita-cita bantuan hukum menjadi gambaran yang kurang cukup komprehensif. Namun paling tidak dengan mengetahui hal tersebut dapat mengurangi arti konsep bantuan hukum yang sedang berkembang di Indonesia.
Gagasan dan konsep bantuan hukum sebenarnya sama pada umumnya, yaitu memberikan pelayanan jasa hukum secara Cuma-Cuma bagi kepada orang yang tidak mampu membayar pengacara tanpa melihat ras, suku dan agama. Menurut Dr. Mauro Cappelletti yang menyatakan bahwa Satu Pertimbangan tetap tidak berubah, maksud amal dan perikemanusiaan yang tampak menonjol bagaikan garis merah. Berdasarkan amal dan kebaikan yang sebagai symbol perikemanusiaan tersebut menjadi landasan terutama bagi orang yang secara ekonomi tidak mampu membayar pengacara yang sedang membutuhkan bantuan hukum dengan uluran tangan dari orang yang lebih mampu secara ekonomi dan keilmuan, orang yang lebih mampu tersebut telah menciptakan suatu lembaga yang memberi bantuan hukum khususnya bagi orang yang tidak mampu.
Dengan berkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat terhadap hukum ikut mempengaruhi gagasan dan konsep bantuan hukum di Indonesia, belohe dikatakn bahwa embrio bantuan hukum yang asli di Indonesia telah terbentuk. Hal itu bermula dari suatu gagasan yang diajukan oleh penulis dalam kongres Peradin tahun 1969, untuk mendirikan sebuah lembaga bantuan hukum dalam arti yang luas di Indonesia. Dalam gagasan ini, yang kemudian dituangkan secara lebih kongkret dalam Anggaran Dasar Lembaga Bantuan Hukum, kita lihat bahwa gagasan atau konsep bantuan hukum ini tidak lagi semata-mata didasarkan perasaan amal dan peri-kemanusiaan untuk memberikan pelayanan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu yang buta hukum. Begitu pula sebaliknya, bahwa dengan adanya bantuan hukum dalam pengertian yang luas, untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga mereka menyadari hak-hak mereka sebagai manusia dan warga Negara Indonesia.[14]
Sebagaimana kita ketahui, hukum di Indonesia tengah memasuki titik terendah dari apa yang pernah disebutkan sebagai hilangnya ruhani hukum. Kehidupan hukum yang tidak imajinatif, semrawut dan kumuh. Sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowibisono, “telah terjadi kehancuran visi dan misi hukum kita yang mengarah pada kehancuran supremasi hukum.” Konsisi seperti saat ini menurut Julian Kristeva disebut sebagai “kondisi abjek hukum”. Suatu kondisi atau keadaan dimana ketika semua orang tengah bermain-main dan terlibat permainan hukum.
Sajipto Rahardjo[15] menggambarkan bahwa “situasi keberadaan hukum diperlihatkan oleh kondisi hypeerregulated, yaitu tumpang tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat, penindasan sampai pada miskinnya kreatifitas dan matinya nurani penegak hukum. Akibatnya muncul apa yang yang digambarkan sebagai model penyelesaian masalah di luar hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang lama dan berbelit-belit, masa mengadili pelaku pada saat itu di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai pada cap (stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi yang demikian muncul karena sudah tidak ada lagi kepercayaan yang bias dilimpahkan kepada penyokong keadilan. Keadilan menjadi sangat eksklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasi sumber-sumber kekuasaan. Situasi ini telah memicu dan mendorong masyarakat yang termajinalkan untuk bergerak. Semakin kuatnya tuntutan hukum masyarakat maka mulailah “Era Hukum Rakyat”, rakyat mulai menguasasi jalan dan mengambil alih fungsi penafsiran, “siapa menguasai jalan, dia menguasai hukum”.Dari gambaran diatas, dapat dikatan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal telah menjadi kosumsi publik.
Undang-undang bantuan hukum mulai berkembang dari masa ke masa, untuk mengimbangi gagasan dan konsep bantuan hukum, akan tetapi perlu dicermati, bahwa undang-undang bantuan yang telah ada apakah sudah mencerminkan nilai-nilai ideal bagi kaum masyarakat rentan untuk mendapatkan keadilan (acces to justice). Berikut merupakan undang-undang yang menjadi payung hukum untuk bantuan hukum antara lain:
- Herzeine Indische Reglement (HIR)
Dalam ketentuan ini, disebutkan dalam pasal 250 HIR yang memberi hak akanbantuan hukum kepada seorang terdakwa yang tidak mampu membayar pengacara.[16]
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Mengenai Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang ini, terdapat 3 (tiga) pasal yaitu:
- Pasal 35
“setiap orang yang tersangkit dalam suatu perkara berhak mendapat bantuan hukum”
- Pasal 36
“dalam suatu perkara pidana, seorang tertuduh, terutama sejak penangkapannya berhak menghubungi dan meminta bantuan hukum”
- Pasal 37
“dalam memberikan bantuan hukum yang disebutkan dalam pasal 36, penasehat hukum harus memberikan kerja sama dalam mempercepat penyelesaian perkara dengan menegakkan Pancasila, Hukum dan Keadilan”
- Konferensi Cibogo
Konferensi tersebut diadakan pada tahun 1971, 1972, dan 1973 yang dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian. Dalam konsensus tersebut mereka sepakat bahwa seorang terdakwa berhak menghubungi dan didampingi oleh pengacara dalam pemeriksaan sementara sejak penangkapannya sampai penahannya. Sementara itu, hak mendaparkan bantuan hukum dimaknai seharusnya seorang penasehat hukum berhak hadir secara fisik dan membantu terdakwa.
- Pidato Presiden tanggal 6 Agustus 1978
Pada pidato tersebut merupakan angina segara bagi program bantuan hukum. Di depan siding DPR menjelang hari kemerdekaan, Presiden menyampaikan pentingkanya pemerataan keadilan, serta pemerataan ekonomi. Pemerintah berjanji akan memperluas dan meningkatkan bantuan hukum kepada si miskin dalam Repelita yang akan datang.
- Pernyataan 6 pejabat tinggi penegak hukum pada tanggal 10 november 1978
Pernyataan ini merupakan suatu deklarasi bersama pejabat tinggi di bidang hukum yaitu Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Komandan dan Kepala Staf Kopkamtib dan Kepala Kepolisian. Mereka menguraikan arti dan tafsiran dari hak atas bantuan hukum yang akan diberikan terutama mengenai besaran bantuan yang akan diberikan tersebut.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam undang-undang ini, bantuan hukum disebutkan secara eksplisittentang bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam:
- Pasal 56
“(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan
yang tidak mampu.”
- Pasal 57
“(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan”
- Undang-UndangNomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Dalam undang-undang ini, pasal 3 Undang-Undang Bantuan Hukum disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:
- Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
- Mewujudkan hak konstitusional segala warga Negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
- Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
- Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam undang-undang tersebut, dalam penerapannya juga mencakup seharusnya mencakup masyarakat rentan. Sebagiamana diatur dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Sejahtera disebutkan bahwa masyarakat rentan adalah adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fisiknya.
ruang lingkup undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum disebutkan yaitu pasal 5 ayat (1) menyatakan bahw penerima bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan madiri.
Jika dibandingkan diantara ketentuan peraturan diatas, tentu definisi masyarakat rentan dalam undang-undang bantuan hukum belum termaktub secara eksplisit tentang masyarakat rentan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
UU Bantuan Hukum juga mendelegasikan pengaturan penyelenggaraan bantuan hukum melalui Perda. Hal itu tegas dinyatakan dalam Pasal 19 UU Bantuan Hukum berbunyi :
- Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
Berpedoman pada Pasal diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan pemerintah daerah dapat membuat Perda yang mengatur tentang Bantuan Hukum di daerah disesuaikan dengan kebutuhan dan hal-hal tertentu sesuai dengan lokalitas daerah, baik pedoman dalam penganggaran dalam APBD, penyelenggara bantuan hukum, dan hal lain yang berkaitan dengan akses keadilan masyarakat rentan di daerah. Daerah dapat mengatur lebih lanjut persoalan bantuan hukum sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Ketiadaan pengaturan pendelegasian ini dapat dimanfaatkan pemerintah daerah guna mengisi ruang kosong atau mungkin kelemahan yang terdapat dalam UU Bantuan Hukum.
Adanya Perda yang mengatur bantuan hukum guna memenuhi akses keadilan bagi masyarakat rentan di daerah merupakan angin segara bagi penegakan hukum di Indonesia, mengingat Selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan Hak-Hak Sipil Politik dan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dilain pihak hak-hak yang terdapat didalam komunitas masyarakat rentan belum mendapatkan prioritas dari kebijakan tersebut. Sedangkan permasalahan yang mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas dalam perspektif HAM.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan secara yuridis normative bahwa undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum belum termasuk akses bagi masyarakat rentan. Sehingga dalam hal ini masyarakat rentan belum mendapatkan access to justice secara baik. Sehingga perlu adanya perubahan dalam undang-undang tersebut dengan menyesuaikan dengan kondisi sosioligis masyarakat dan perkembangan ilmu hukum serta berdasarkan hak-hak asasi manusia.
Dalam UUBH memberi kewenangan kepada daerah menyelenggarakan bantuan hukum di daerah dan dapat menganggarkannya di dalam APBD. Penyelenggaraan bantuan hukum di daerah. Hal ini semata-mata untuk lebih menjamin kepastian hukum memenuhi akses keadilan bagi masyarakat rentan.
[1] Pengurus LBH Rumah Keadilan Kota Malang. Email:ariefheryogi92@gmail.com. hp :082158021728, WA:085752287175
[2] Pengurus LBH Rumah Keadilan Kota Malang.
[3] Hariyono, dkk, Membangun negara hukum yang bermartabat, (Universitas Widyagama Malang:2003),Hal 2
[4] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia, 1982),h. 57-58
[5] Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 2009, hlm 5-6
[6] http://ojs.umsida.ac.id/index.php/rechtsidee/rt/printerFriendly/7/25
[7]Lihat Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[8] Lihat Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[9] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Cetakan ke-5 (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hlm. 88.
[10] Lihat dalam makalah Jimly Asshiddiqie yang berjudul “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, hlm 1-2.
[11]http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
[12] http://www.hukumpedia.com/twtoha/pembagian-urusan-pemerintahan-menurut-undang-undang-no-23-tahun-2014-tentang-pemerintahan-daerah, diakses pada 25 November 2017
[13] Adnan buyung Nasution, SH. “Legal Assistance and Access to Justice in Indonesia” makalah disampaikan pada First International Colloquium on Legal Aid and Legal Service, 25-28 Oktober 1976 (London, England : International Committee Law Exchange Society 1976/1977) hal 1
[14] Adnan Buyung Nasution, SH., “Legal Services in Developing Countries: An Indonesian Case”, dalam Bantuan Hukum di Indonesia (5 Tahun LBH), (Jakarta, 1976), hal-35-36
[15] Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi” Makalah Seminar Nasinal Menggugat Pemikiran Hukum Positifistik di Era Reformasi, Semarang, Sabtu 22 Juli 2006
[16] Mr. Tresna, Komentar atas HIR, (Jakarta: NV Amsterdam, 1956)