Perbudakan merupakan suatu kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik ini juga dikenal sebagai tindakan yang menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Pengertian ini termuat dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perkembangan sejarah manusia sebelum di tegakannya Hak Asasi Manusia (HAM), perbudakan kuno pernah menjadi sistem kerja yang sah di berbagai negara. Menjadi budak dianggap lebih baik daripada seorang peminta-minta, namun hal tersebut sudah tidak berlaku di era saat ini, baik di Indonesia maupun di dunia. Kini setelah adanya penegakan HAM di seluruh negara – negara di dunia Perdagangan orang menjadi bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Perlindungan perdagangan atau perbudakan manusia termuat dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun”. Negara indonesia turut menandatangani Konvensi International Labour Organisation Nomor 182 Tahun 1999 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) sebagai bentuk komitmen negara menghapus kejahatan perbudakan dan perdagangan orang.
Adanya payung hukum ini menjadikan perbudakan menjadi suatu pelanggaran HAM yang tidak dapat diterima dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun realitas perbudakan manusia masih saja terjadi, praktik-praktik perbudakan masih sering dijumpai dan seakan lumrah dilakukan karena kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat atas hal tersebut. Seperti maraknya kasus eksploitasi anak dan perbudakan ABK di kapal asing yang terjadi di tahun 2021 dan berbagai kasus yang pernah terjadi lainnya. Tak hanya itu baru baru ini negara dikejutkan dengan dugaan kasus perbudakan dan eksploitasi oleh bupati non-aktif Kabupaten Langkat.
Praktik perbudakan pada umumnya dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya karna tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Terlebih saat ini dunia sedang dihadapkan dengan bencana non alam berupa pandemi yang menyebabkan pelambatan ekonomi. Para pakar mengatakan bahwa pelambatan ekonomi global mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, putus asa, dan beresiko dieksploitasi. baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak dapat menjadi korban perbudakan dan ekploitasi dengan tujuan eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, eksploitasi sebagai pengemis dan pelaku kriminal.
Secara prinsip, setiap warga negara berhak dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apa pun yang merugikan. Hal tersebut merupakan kewajiban kita sebagai manusia dan pihak lain seperti pemerintah dan lembaga negara terkait. Prinsip ini telah diterima baik melalui instrumen hukum nasional maupun internasional. Melindungi warga negara dari praktik perdagangan orang hingga kini menjadi salah satu tugas wajib pemerintah. Sinergi kuat dari semua pihak lapisan atas hingga ke desa-desa menjadi kunci pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
Larangan dan ketentuan hukum bagi pelaku perbudakan dan ekploitasi sudah ditetapkan sejak lama, keadilan dan perlindungan hukum bagi Korban ditetapkan sebaik-baiknya. Seperti halnya, korban berhak mendapat bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan bagi yang masih berstatus sekolah. Menurut Pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007, pelaku perbudakan dapat dijerat selama 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun kurungan penjara dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), namun apabila perbuatan mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama. Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban perbudakan, maka pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penulis: Hesti Ayu Makrufah (Rumah Keadilan Perwakilan Kediri)
Editor: MAN