Cita Hukum Pancasila, Kemajemukan Hukum Dan Arah Pembangunan Hukum Nasional Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Oleh
Muhamat Irfan Taufik
Pendahuluan
Tujuan dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang mempunyai kekuasaan yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam mewujdkan tujuan bernegara tersebut disusunlah rencana pembangunan nasional demi terwujudnya pembangunan nasional yang berkesinambungan sesuai dengan tujuan berdirinya negara Indonesia dan berdasarkan pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945. Pembangunan nasional sendiri adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.[1]
Pada mulanya landasan dan dasar hukum arah pembangunan nasioanal terjabarkan dalam Garis Besar Haluan Negara yang selanjutnya disingkat (GBHN) yang berisi tentang arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial.[2]
Reformasi yang berimplikasi pada perubahan UUD 1945 yang merubah sistem ketatanegaraan Indonesia, Reformasi tersebut memberikan semangat politik dan cara pandang baru sebagaimana tercermin pada perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan pembangunan adalah a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN); b) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan c) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Dengan dihapuskanya kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN maka dasar dan landasan hukum arah pembangunan nasoinal tentunya bukan lagi berbentuk GBHN yang merupakan produk dari MPR
Sebagai penganti dan terebosan hukum tentang arah pembanunanan nasioanal, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005 – 2025. RPJPN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945 dalam bentuk visi,misi dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun kedepan yang mencakupi kurun waktu mulai tahun 2005 hingga tahun 2025.
Dalam UU RPJPN 2005-2025 terdapat beberapa bidang hukum pembangunan, yaitu: 1). Sosial Budaya Dan kehidupan beragama; 2). Ekonomi; 3). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 4). Sarana dan Prasarana; 5). Politik; 6). Pertahanandan Keamanan; 7) Hukum dan Aparatur; 8) Wilayah dan Tata Ruang; dan Sumber Daya alam dan Lingkungan Hidup.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, pembangunan hukum dilaksanakan untuk mencapai misi mewujudkan bangsa yang berdaya saing dan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.[3] Hal ini merupakan bagian dari 8 (delapan) misi pembangunan nasional dalam rangka menggapai visi pembangunan nasional dalam kurun waktu 2005-2025, yaitu terwujudnya “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.[4] Secara umum, pembangunan di bidang hukum berdasarkan UU RPJPN, meliputi: 1). Pembangunan Subtansi Hukum; 2). Pembangunan Srtuktur Hukum; dan 3). Pembangunan Budaya hukum.[5]
Tujuan berdirinya suatu negara hanya dapat dicapai apabila seluruh pihak memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan hal tersebut, salah satu sarana untuk mencapai tujuan negara ialah dengan merencenakan pembangunan hukum secara nasional dengan diundangkannya UU RPJPN yang mengatur arah pembembanggunan hukum Nasional yang bertumpu kepada pembangunan Hukum dan Aparatur, apakah sesuai dengan tujuan berdirinya negara Indonesia yang termaktub dalam UUD NRI 1945. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana merencanakan pembangunan hukum nasional untuk mencapai tujuan negara.
Pembahasan
Arah pembangunan hukum dalam rencana pembangunan jangka panjang Indonesia dalam UU RPJPN menititik beratkan pada sistem pembangunan hukum melalui subtansi dan aparatur dan budaya. Pembangunan subtansi hukum menitik beratkan kepada pembuatan peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang dengan suatu maksud untuk membentuk dan mewujudkan pembentukan perundang-udangan dengan cara dan metode yang baku.
Melihat arah pembangunan hukum dalam UU RPJPN seolah-olah pembangunan hukum diartikan sebagai pembangungan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang sebanyak-banyaknya dengan metode dan cara yang baku yang juga diatur dalam Undang-Undang. Padahal pembangunan hukum tidak diartikan hanya dengan pembuatan peraturan perundang-undangan tapi harus dipandang lebih luas dari pada itu, peraturan perundang-undangan hanya merupakan salah satu bentuk dari hukum.
Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut yang istilah lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidak berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukan negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum yang seharusnya harus dipandang lebih luas dari pada itu.
Kemudian dalam pembangunan subtansi hukum yang dianut oleh UU RPJPN 2005-2025 cendrung sentralistik karna tidak dan tanpa memperhatikan serta melihat sistem-sistem hukum lain yang ada dalam masyrakat indonesia. Hal ini diharuskan dikarnakan Indonesia adalah negara yang bercorak mulikultural termasuk kemajemukan sistem hukum yang berlaku dalam masyrakat. Senada dengan hal itu I Nyoman Nurjaya menyatakan:[6]
“Paradigma pembangunan hukum yang dianut pemerintah pada kurun waktu lebih dari tiga dasa warsa terakhir ini cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam teritori negara (rule-centered paradigm). Implikasinya, hukum negara cenderung menggusur, mengabaikan, dan mendominasi keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, karena secara sadar hukum difungsikan sebagai governmental social control (Black, 1976), atau sebagai the servant of repressive power (Nonet & Selznick, 1978), atau sebagai the command of a sovereign backed by sanction (McCoubrey & White, 1996).”
Berbicara tentang kemajemukan sitem hukum dalam masyarkat John Griffiths mengungkapkan dalam masyarakat hukum negara (state law) bukan satunya-satunya hukum yang berlaku dalam masyrakat tetapi adalam masyarkat sitem hukum yang lain yang bekerja dalam masyrakat yaitu hukum agama (religious law), hukum kebiasaan atau hukum adat (customary law atau folk law), dan yang terakhir hukum dalam setiap kelompok (self-regulation atau Inner-Order Mechanism) yang oleh John Griffits disebut dengan Legal Pluralism atau kemajemukan hukum.[7]
Dalam UU RPJPN 2005-2025 arah pembangunan hukum mencakaup tiga elemen Pembangunan yaitu: 1) Pembangunan subtansi hukum, yang ditindak lanjuti dengn diundangkanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan sebagaiman telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012; 2) Pembangunan struktur hukum, yang meliputi pembanguan aparatur pelaksana kekuasaan kehakiman. 3) Pembangunan budaya hukum dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan. secara teoritis bidang pembangunan hukum diatas memakai sistem hukum (legal system) dari Lawrence M Friedman yang memiliki tiga komponen, subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Tentang legal system Lawrence M Friedman, I Nyoman Nurjaua menyebutkan:[8]
“Hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu: a. Struktur hukum (legal structure) meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan); b. Substansi hukum (legal substance) meliputi semua produk hukum berupa peraturan perundang-undangan; dan c. Budaya hukum masyarakat (legal culture) meliputi nilai-nilai, ide, persepsi, pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku, termasuk harapan-harapan masyarakat terhadap hukum.”
Lebih Lanjut I Nyoman Nurjaya menyatakan,[9] pemakaian sistem hukum Lawrence M Friedman dalam arah pembangunan hukum nasional yang secara tersirat termaktub dalam UU RPJPN 2005-2025 tidak tepat. Hal ini dikarnakan teori legal system Lawrence M Friedman diunakan untuk memahami atau menganalisa apakah substansi dan struktur hukum ditaati atau sebaliknya, atau hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat tergantung pada kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang bersangkutan. secara tekstual I Nyoman Nurjaya menggungkapkan:
“Dalam perspektif antropologi hukum setiap bentuk masyarakat memiliki struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum sendiri. Apakah substansi dan struktur hukum ditaati atau sebaliknya, atau hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat tergantung pada kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang bersangkutan. Melalui kajian hukum sebagai suatu sistem (law as a system) dapat dijelaskan bagaimanakah hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Dari ketiga sub sistem dalam hukum tersebut, kultur hukum (legal culture) menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektifitas hukum dalam masyarakat; kultur hukum menjadi motor penggerak yang memberi masukan kepada unsur struktur hukum dan substansi hukum dalam memperkuat sistem hukum. Jadi, dengan mengkaji substansi, struktur, dan budaya hukum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum beroperasi sebagai suatu sistem dalam masyarakat (Friedman, 1984). Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional Uraian pada bagian terdahulu memperlihatkan bahwa hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai sistem pengendalian sosial (social control) menjaga keteraturan dalam kehidupan sosial (social order).”
UU RPJPN 2005-2025 dalam bidang pembangunan hukum juga mencampur baurkan antara pembangunan hukum dan pembangunan aparatur, bahkan lebih mengarah kepada penerapan hukum.[10]
Cita Hukum Pancasila dan Kemajukan Hukum sebagai Arah pembagunan Hukum Nasioanal
Pembangunan bangsa Indonesia yang sedang berlangsung saat ini bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Olehnya, pembangunanan dilaksanakan dalam segala sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkelanjutan. Salah satu aspek yang menjadi sasaran pembangunan adalah aspek hukum itu sendiri. Pembangunan hukum tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meneruskan perjuangan bangsa merdeka setelah terlepas dari belenggu penjajahan kolonialisme barat, serta merupakan eksistensi sebagai negara yang berdaulat tentunya memerlukan kehadiran hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai kultur dan budaya bangsa. Pembangunan hukum pada dasarnya meliputi usaha mengadakan pembaruan pada sifat dan isi dari ketentuan hukum yang berlaku dan usaha-usaha yang diarahkan bagi pembentukan hukum baru yang diperlukan dalam pembangunan masyarakat.[11]
Salah satu bentuk perkembangan hukum adalah lahirya teori hukum pembangunan yang dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1973.[12] Latar belakang lahirnya pemikiran konsep hukum pembangunan ini bermula dari keprihatinan Mochtar Kusumaatmadja yang melihat adanya kelesuan (melaise) dan kekurangpercayaan akan fungsi hukum dalam masyarakat. Kelesuan itu seakan menjadi paradoksal, apabila dihadapkan dengan banyaknya jeritan-jeritan masyarakat yang mengumandangkan The rule of law dengan harapan kembalinya ratu keadilan pada tahtanya untuk mewujudkan masyarakat Tata tentram kerta raharja. [13]
Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu ;[14] Pertama, bahwa arti dan fungsi hukum dalam masyarakat direduksi pada satu hal yakni ketertiban (order) yang merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat maka diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Kedua, bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan antara manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum, namun juga ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainya. Oleh karenanya, antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat jalinan hubungan yang erat antara yang satu dan lainnya. Namun jika ada ketidaksesuaian antara kaidah hukum dan kaidah sosial, maka dalam penataan kembali ketentuan-ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang teratur, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya. Ketiga, bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya karena tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yag berisikan anjuran belaka. Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Keempat, bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (The living law) dalam masyarakat yang tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Kelima, bahwa hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan dari apa yang telah tercapai, namun fungsi hukum tentunya harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam masyarakat sehingga harus mempertimbangkan segi sosiologi, antroplogi kebudayaan masyarakat.
Menurut Patrialis Akbar ada tiga dimensi yang dapat dijadikan sebagai alasan pentingnya pembangunan hukum nasional, yaitu dimensi konstitusional, dimensi juridis sosiologis dan dimensi perspektif. Dimensi konstitusional bermakna pembangunan hukum nasional merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi negara hukum dalam tata kehidupan masyarakat. berbangsa dan bernegara sekaligus mewujudkan amanat konstitusional Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum serta pemerintahan dengan tidak ada kecuali. Dimensi juridis sosiologis bermakna membangun hukum merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi hukum yang sesuai dengan ide Kerangka Teori. Dimensi perspektif bermakna pembangunan hukum nasional merupakan upaya untuk menjadikan hukum sebagai sarana pembangunan dalam arti mengatur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan.[15]
Arah Pembangunan Hukum Nasional sejatinya dan seharunsnya harus sesuai dengan cita hukum pancasila. Hal ini dikarnakan tatatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari cita hukum yang dianut dalam dalam masyarkat yang bersangkutan kedalam berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga dab proses (prilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat). yang dimakud dengan cita hukum menurut Bernard Arief Sidarta:[16]
“Cita Hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan denagn hukum ataupresepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri dari tiga unsur: keadilan, kehasilgunaan dan kepastian hukum. Lebih lanjut cita hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagi produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mwujudkan tiga unsur cita hukum tersebut, dalam dinamikanya kehidupan kemsyarkatan cita hukum itu akan dgai pengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum, mempedomani, norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memfasitasi dalam penyelenggaraan hukum ( pembentukan dan penerapan hukum) dan prilaku huku.”
Cita hukum bangsa Indonesia adalah Cita hukum pancasila. Pancasila yang merupakan hasil dari representatif pandangan hidup bangsa Indonesia, yang mengaundung nilai-nilai tentang cara berkehidupan dan berbangsa dan kemudian dituangkan dalam nilai pancasila yang oleh Carl Von Savigny disebut dengan Volkgeist (Jiwa Bangsa). berkaitan dengng hal itu Bernard Arief Sidarta mengukapkan:[17]
“Pancasila adalah panadanagan hidup bangsa Indonesia tentang hunbugan antara manusia dan tuhan, manusia dan sesama manusia, dan manusia dan alam semesta, yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual didalam masyarakat dan alam semesta.”
Pancasila sebagai..cita-cita hukum bangsa Indonesia merupakan dasar negara, ideologi nasional, kepribadian bangsa Indonesia yang telah diterima sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan’ bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan nasional dinyatakan sebagai pangamalan Pancasila sehingga keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yangutuh. Sudah tentu termasuk pula pembangunan di bidang hukum yang merupakan bagian Integral dan pembangunan nasional. Hukum nasional haruslah merupakan perwujudan nilal-nllai Pancasila, harus mengandung isi yang sesuai dengan nilai-nllai luhur Pancasila yang diterapkan secara konsisten yang merupakan pandangan hidup, kepribadian dan cita-cita bangsa.
Indonesia terdiri dari komposisi atas suku, agama, dan identitas kedaerahan yang sangat majemuk yang berimplikasi pada kemajemukan sitem hukum yang ada dalam masyarakat. Arah pembangunan hukum nasional semestinya dan seharusnya harus melihat kemajemukan hukum yang ada di masyarakat. Sehingga pembangunan bukan diartiakkan pembangunan peraturan-peraturan negara yang yang cendrung memaksakan sifat sentralism hukum negara kepada masyarkat. berkaitan dengan hal itu Eugen Ehrlich pelopor ilmu hukum sosiologis (sociologicaf jurisprudence) menyatakan antara lain bahwa “pusat perkembangan hukum bukanlah terletak pada badan-badan leglslatif, keputusan-keputusan yudikatif ataupuh ilmu.hukum, akan tetapi justru terletak dalam masyarakat itu sendiri”[18]
Menurut I Nyoman Nurjaya Untuk mencapai tujuan itu, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah membangun paradigma pembangunan hukum yang memberi pengakuan dan perlindungan secara utuh (genuine recognition) terhadap sistem hukum selain hukum negara, seperti hukum adat (adat law), hukum agama (religious law), dan mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (innerorder mechanism) yang secara nyata tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Implikasinya, nilai-nilai, prinsip-prinsip hukum, institusi, dan tradisi folk law wajib diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, dan dituangkan secara konkrit ke dalam norma hukum negara (peraturan perundangundangan). Ini berarti, karakteristik hukum yang harus dikembangkan untuk membina dan memperkokoh integrasi bangsa yang multikultural adalah hukum yang bercorak responsif (responsive law), yaitu hukum yang merespons dan mengakomodasi nilai, asas, norma, institusi, dan tradisi yang tumbuh dan berkembang secara empirik dalam kehidupan masyarakat.[19]
Kesimpulan
Arah pembangunan hukum dalam UU RPJPN 2005-2025 memperlihatkan arah pembangunan hukum yang bersifat sentralistik dan terlalu memaksakan hukum negara berlaku dalam masyrakat. hal ini terlihat dalam UU RPJPN bidang pembnaguna hukum yang lebih menitik beratkan pada pembuatan peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tanpa memperhatiakn sistem-sistem kemajemukan hukum yang tumbuh dan berkembnag dalam masyarakat. hal tersebut tentunya bertentangan dengan tujuan berdirinya bangsa dan pemerintahan Indonesiayang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945.
Penggunanan sistem hukum (Lawrence M Friedman) subtansi, Struktur, dan culture untuk membangunan hukum yang tertuang dalam UU RPJPN 2005-2025 tidaklah tepat. Hal ini dikarnakan teori legal system Lawrence M Friedman diunakan untuk memahami atau menganalisa apakah substansi dan struktur hukum ditaati atau sebaliknya, atau hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak. Pembangunan hukum nasioanal seharusnya lebih mengarah kepada pembangunan hukum yang sesuai dengan cita hukum pancasila yang merupakan jiwa bangsa Indonesia yang didalamnya mengandung nilai-nilai luhur dan filosofis dari bangsa Indonesia itu sendiri, serta mengakomodasi kemajemukan hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang diintregasikan kedalam sistem hukum nasional serta dituangkan secara kongkrit ke dalam norma hukum negara yang terwujud dalam peraturan perundang-undanagan. Sehingga hukum yang dihasilakan akan bersifat responsif, yang merespons dan mengakomodasi nilai, asas, norma, institusi, dan tradisi yang tumbuh dan berkembang secara nyata dan real ada dalam kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Arief Sidarta, Bernard, Ilmu Hukum Indonesia ( upaya pengembangan ilmu hkum sistematik yang responsif terhadap perubahan masyarakat, Yogyakarta, Genta Publishing : 2013.
Atmasasmita,Romli, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising, 2012,
Toneko, Soleman. Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: FT. Raja Grafindo Persada.1993.
G Hakim Nuasnatara, Abd. dan Yasabari,Nasroen , Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1980
Rhardjo, Sajipto. Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis seratapengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publising, Bandung : 2005.
Salaman,Otje. dan Damian Eddy. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : Alumni,
Artikel dan Journal
I Nyoman Nurjaya, Memahami Posisi Dan Kapasitas Hukum Adat Dalam Politik Pembangunan Hukum Di Indonesia: Perspektif Antropologi hukum, Perspektif Volume Xvi No. 4 Tahun 2011 Edisi September. Journal Juga Terbit dalam Majalah Hukum Nasional No 2 Tahun 2013.
I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Artikel diakses dalam https://fh.huma.ac.id/ pada tanggal 10D Oktober 2017.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.
Internet
I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Artikel diakses dalam https://fh.huma.ac.id/ pada tanggal 10D Oktober 2017.
Patrialis Akbar, 2016, Arah Pembangunan Hukum Nasional Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Artikel diakses dalam https://fh.umj.ac.id/ pada tanggal 14 Desember 2017.
[1]Lihat Penjelasan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, lembaran negara republik indonesia tahun 2007 nomor 33 .
[2] Lihat Lampiran Bab I UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, lembaran negara republik indonesia tahun 2007 nomor 33 .
[3] Lihat Bab IV Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.
[4] Lihat Bab III Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
[5] Lihat Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 Tentang Hukum dan Apratur. Hlm 31.
[6] I Nyoman Nurjaya, Memahami Posisi Dan Kapasitas Hukum Adat Dalam Politik Pembangunan Hukum Di Indonesia: Perspektif Antropologi hukum, Perspektif Volume Xvi No. 4 Tahun 2011 Edisi September. Journal Juga Terbit dalam Majalah Hukum Nasional No 2 Tahun 2013. hlm 61
[7] I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Artikel diakses dalam https://fh.huma.ac.id/ pada tanggal 10D Oktober 2017.
[8] I Nyoman Nurjaya, Memahami Posisi Dan Kapasitas Hukum Adat…, Op.Cit,.
[9]Ibid., Pernyataan tersebut juga disampaikan dalam perkuliahan mata kuliah Teori Hukum pada Pacsa Sarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya angkatan 2017 – 2018 semester Ganjil.
[10] Sajipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis seratapengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publising, Bandung : 2005. hlm. 203
[11]Satjipto Rahardjo di dalam Abd. G. Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1980, hlm 1.
[12] Lihat Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Yogyakarta : Genta Publising, 2012, hlm 59-60. Konsep hukum sebagai sarana pembangunan mulai dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja melalui tulisan-tulisan dalam seminar tentang hukum pembangunan pada tahun 1973, konsep hukum pembangunan telah dimasukan sebagai materi hokum Pelita I (1970-1975), kemudian dituangkan dalam GBHN pada tahun 1978.
[13] Mochtar Kusumaatmadja di dalam, Otje Salman dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : Alumni, 2002, hlm 1
[14] Ibid, hlm 3-15.
[15] Patrialis Akbar, 2016, Arah Pembangunan Hukum Nasional Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Artikel diakses dalam https://fh.umj.ac.id/ pada tanggal 14 Desember 2017.
[16] Bernard Arief Sidarta, Ilmu Hukum Indonesia ( Upaya Pengembangan Ilmu Hkum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyaraka)t, Yogyakarta, Genta Publishing : 2013, hlm. 96.
[17]Ibid,. hlm 97
[18] Soleman B. Toneko, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: FT. Raja Grafindo Persada.1993 Him. 7.
[19] I Nyoman Nurjaya, Memahami Posisi Dan Kapasitas Hukum Adat…, Op.Cit,.