Oleh : Nikmatul Jazilah (Mahasiswa PKL UIN MALANG 2021)
Pada masa pandemi Covid-19 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) makin marak terjadi. Harian Kompas berdasarkan survey yang mereka lakukan di tahun 2020 terhadap 2.285 responden laki-laki dan perempuan mendapatkan hasil bahwa KDRT banyak dialami oleh perempuan. Mayoritas kekerasan tersebut dialami oleh keluarga yang gaji pokoknya dibawah 5 juta rupiah dan memiliki anak lebih dari 3. Dari banyaknya perempuan yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 10% yang melapor, dan sisanya memilih untuk diam.
Secara hukum, merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa yang dimaksud Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Adapun yang termasuk dalam cakupan rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2004 antara lain:
- Lingkup rumah tangga meliputi : a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
- Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Hal yang perlu digaris bawahi berdasarkan ketentuan UU di atas adalah bahwa cakupan rumah tangga cukup luas tidak terbatas hanya suami, istri dan anak. Dalam hal ini, pemahaman terkait cakupan rumah tangga sangat penting diketahui oleh masyarakat.
Sebagaimana yang telah dipaparkan diawal, bahwa kasus KDRT semakin meningkat di masa pandemi Covid-19, dan mayoritas korbannya memilih untuk diam dan tidak melapor. Pemberlakuan UU Penghapusan KDRT menjadi sinyal bahwa pemerintah berkomitmen untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT. Pemerintah memiliki tujuan agar setiap warga negaranya merasa aman dan terbebas dari segala bentuk kekerasan. Beberapa hak yang dimiliki oleh korban KDRT menurut Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2004 meliputi:
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Apabila terdapat masyarakat yang mengalami KDRT beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Musyawarah dengan keluarga atau orang yang dipercaya.
- Menghubungi layanan konseling.
- Mendatangi lembaga yang menyediakan bantuan hukum.
- Melaporkan kepada pihak kepolisian.
Oleh karena itu, meskipun beberapa masyarakat tidak menginginkan kasus mereka dibawa ke ranah hukum, setidaknya para korban melalui pihak keluarga melakukan musyawarah atau mencari solusi agar permasalahan tersebut terselesaikan. Jika upaya penyelesaian melalui pihak keluarga tidak membuahkan hasil, masyarakat dapat mendatangi lembaga sosial atau bantuan hukum untuk mendapatkan perlindungan dan pendampingan. Rumah Keadilan sebagai lembaga bantuan hukum berkomitmen untuk melakukan perlindungan dan pendampingan terhadapa masyarakat korban KDRT sebagai upaya untuk mengurangi peningkatan kasus KDRT yang terjadi di Indonesia terutama di masa pandemi.