Oleh: Muhammad Najih Vargholy
Manusia adalah makhluk sosial, itulah kalimat yang sering kita dengar dan merupakan sebuah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Jika kita kita berpikir lebih mendalam akan muncul sebuah pertanyaan yang terbersit dalam benak kita, mengapa manusia bisa disebut demikian (makhluk sosial).
Manusia, selama ia hidup berdampingan dengan yang lainnya akan selalu melakukan interaksi-interaksi dengan sesamanya tersebut. Sebab mengapa demikian adalah karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan guna kepuasan pribadinya masing-masing. Aristoteles menyatakan bahwa adanya kepentingan-kepentingan itu muncul karena pembagian sumber daya alam yang berbeda-beda dan memang juga pada dasarnya manusia memiliki kedudukan yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian maka tidak bisa dipungkiri bahwa manusia akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain sebab kadangkala kepentingannya baru dapat terpenuhi bergantung pada orang lain itu. Kadangkala kepentingan manusia satu sama lain saling bersinggungan dan berbenturan. Maka guna mengakomodir kepentingan yang saling bertolak belakang tersebut sehingga masing-masing pihak dapat terpenuhi kepentingannnya dibuatlah sebuah kaidah atau aturan yang harus dipatuhi.
Konsekuensi dari adanya interaksi antara manusia dengan yang lainnya yang didasari oleh adanya kepentingan-kepentingan pribadi itu adalah timbulnya sebuah ikatan diantara mereka. Ikatan yang abstrak ini muncul akibat adanya perjanjian yang telah dibuat oleh masing-masing pihak sesuai dengan kepentingannya. Dengan adanya perjanjian yang telah dibuat itu maka masing-masing pihak dalam arti lain telah dan saling mengikatkan diri satu sama lain dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya itu. Apa yang menyebabkan manusia tunduk terhadap ikatan yang telah dibuatnya itu adalah tuntutan etis dan moral manusia senidiri dan dari sinilah muncul sebuah prinsip dalam perikatan yang disebut Pacta Sunt Servanda.
Makna dari Pacta Sunt Servanda adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat berlaku mengikat bagi masing-masing pihak. Jika dikaitkan dengan hukum positif maka kekuatan mengikat dari suatu perjanjian sama derajatnya dengan mengikatnya sebuah undang-undang. Awal dari hadirnya prinsip ini adalah adanya tuntutan etis dan agama. Islam sebagai contohnya, Allah SWT dengan jelas mewajibkan orang-orang yang beriman agar mentaati ikatan atau akad yang telah dibuatnya dengan orang lain (QS. al-Maidah: 1). Munir Fuady menyatakan bahwa pada masa romawi mereka yang tidak menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah diperjanjikan satu sama lain bahkan dapat dijatuhi hukuman pidana. Pada umumnya prinsip Pacta Sunt Servanda dikenal oleh negara-negara yang menerpakan sistem civil law. Adapun negara dengan sistem common law kerap menyebutnya dengan prinsip kesakralan kontrak (Sanctity of Contract).
Di negara dengan sistem civil law, kaidah-kaidah etis dan moral termasuk dalam hal ini prinsip Pacta Sunt Servanda tidaklah dapat diterapkan sebelum ia dipositifkan ke dalam suatu undang-undang. Negara Indonesia sebagai penganut civil law mendasarkan aturan-aturan mengenai hubungan keperdataan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam hal perjanjian, prinsip Pacta Sunt Servanda dapat ditemukan dalam Pasal 1388 KUHPer yang berbunyi “Segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari sini dapat dilihat adanya perbedaan ikatan yang ditimbulkan dari sebuah perjanjian bahwa sebuah ikatan perjanjian baru dapat mengikat secara hukum apabila perjanjian itu dibuat secara sah, namun apabila tidak dibuat secara sah maka hanya mengikat secara moral (tidak dapat dituntut secara hukum). Adapun sebuah perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPer sebagai berikut, 1). Kesepakatan para pihak, 2). Kecacakapan hukum para pihak, 3). Objek yang diperjanjikan, 4). Sebab yang halal (tidak terlarang).
Perlu untuk digaris bawahi bahwa hal terpenting dari sebuah perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak satu sama lain atas dibuatnya sebuah perjanjian terutama kesesuaian dalam hal objek yang diperjanjikan. Apabila telah tercapai kesesuaian kehendak dan itu tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku baik undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum maka masing-masing pihak dianggap telah mampu untuk memikul akibat serta resiko yang ditimbulkan dari perjanjian itu. Maka dari itu dibutuhkan kecakapan, kehati-hatian, kecermatan serta toleransi dari masing-masing pihak ketika hendak membuat sebuah perjanjian mengingat bahwa perjanjian itu pada dasarnya memiliki sifat mengikat dan berkaitan erat dengan keluhuran manusia sebagai makhluk yang beretika.