
Whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkanya, sedangkan justice collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang mengakui apa yang dilakukanya, tetapi bukan sebagai pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Berdasarkan hasil seminar yang didatangi oleh staff kantor hukum rumah keadilan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tentang perlindungan hukum bagi justice collaborator dan Whistle Blower dengan narasumber dari LPSK, Kepolisian, KPK , dan akademisi, terdapat catatan penting tentang hambatan dalam perlindungan hukum terhadap WB dan JC yaitu:
- Belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap JC dan WB;
- Belum adanya pemahaman dan prespektif bersama antara aparat penegak hukum dari tingkat pusat sampai daerah dalam memberikan perlindungan terhadap WB dan JC; dan
- Belum adanya lembaga negara yang ditunjuk sebagai lembaga yang menetapkan seseorang sebagai WB.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK( Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bahwa wujud dari perlindungan terhadap saksi dan korban yakni perlindungan fisik (Rumah Aman, pengamanan melekat, dan pengawasan), pemenuhan hak prosedural (pendampingan, pemenuhan hak hak dan informasi ), bantuan (medis, psikologis dan psikososial). Sebab situasi yang dihadapi baik WB atau JC antara lain teror dan ancaman, stres dan trauma, dilaporkan untuk kasus lainya, dan pekerjaanya terganggu.
Perlindungan hukum terhadap WB dan JC penting untuk di prioritaskan di Indonesia, sebab banyak kasus-kasus besar di Indonesia yang masih menjadi pekerjaan rumah. Salah satunya perdagangan perempuan, pada beberapa kasus wanita yang menjadi korban trafficking dibuat seolah-olah memperdagangkan diri mereka sendiri, para WB yang hendak mengungkap kejahatan tersebut takut karena bukan hanya keluarganya atau dirinya sendiri yang akan dibunuh melainkan orang-orang yang menjadi korban trafficking lainya. Belum lagi kasus HAM Berat masa lalu yang belum terungkap, dan lainya seperti narkoba, teroris yang tentunya WB dan JC memiliki peran penting dalam mengungkap permasalahan tersebut.
WB dan JC bukan hanya sebatas diberikan reward atas laporan atau pengakuanya, melainkan point terpenting adalah terjaminya keamananya, dan yang dapat melakukan hal tersebut adalah Kepolisian Republik Indonesia, namun salah satu faktor kendala dalam menerapkan hal tersebut yakni biaya atau anggaran. Apabila hal tersebut menjadi problem, kita tetap tidak boleh mengesampingkan hak-hak bagi saksi dan korban dalam hal keamanan perlindungan terhadap saksi dan korban juga bisa dilakukan oleh petugas keamanan setempat, atau secara sosial mereka diberikan status khusus sehingga selama proses hukum berlangsung masyarakat sekitar juga bisa memberikan perlindungan terlebih kepada WB yang berkaitan dengan kasus-kasus yang extra ordinary crime.
Perlindungan saksi dan korban bukan hanya sebatas dilindungi oleh peraturan perundang-undangan sebagai law in the book, melainkan perlu adanya kerjasama, dan kesamaan visi dalam mengungkap dan memerangi kejahatan-kejahatan besar di Indonesia baik oleh pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.