Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28G ayat (2) UUD NRI 1945, dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Perlindungan yang dimaksud dalam tujuan nasional tersebut harus diberikan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. Pemenuhan hak ini juga berhubungan dengan hak konstitusional lainnya, yaitu hak atas perlindungan dan hak atas keadilan yang penting untuk ditekankan pelaksanaannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di tanah air.
Berdasarkan “Naskah Akademik RUU P-KS” oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual dimaknai sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik. Korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak harus mendapat perlindungan dan pemulihan dari Negara, termasuk agar korban pulih dari kekerasan seksual yang dialaminya. Berdasarkan Catatan Komnas Perempuan tahun 2020, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%), artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Fenomena ini ibaratkan seperti gunung es yaitu dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman. Tidak hanya pada ranah personal maupun ranah publik, kekerasan seksual juga telah menjamur hingga lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan berbasis agama. Korban mengalami diskriminasi berlapis karena adanya ketimpangan usia, jenis kelamin maupun relasi kuasa antara murid/santri/mahasiswa dengan guru/ustadz/dosen. Selain itu, pelaku berasal dari hampir semua orang yang dikenal baik oleh korban, seperti pacar, senior dalam organisasi, dosen, dan keluarga/pengurus lembaga pendidikan yang akhirnya membuat korban berada pada posisi tidak berkuasa, terlebih pelaku dipandang memiliki otoritas keilmuan dan wewenang keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan tidak menjadi tempat yang aman bagi anak didik serta terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP juga menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan seksual terus terjadi.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban kekerasan seksual baik melalui proses peradilan maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu menjadi bagian mutlak yang diperlukan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tentunya tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Namun semua peraturan tersebut belum sepenuhnya memahami secara komprehensif persoalan yang mendalam terkait kekerasan seksual, misalnya terkait dengan pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan aborsi, perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual yang sering terjadi di lingkup sosial terutama ruang pendidikan. Hal inilah yang menjadi alasan telah diterbitkannya Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 sebagai angin segar dan langkah awal dalam memperkuat penanganan kekerasan seksual di ruang lingkup pendidikan perguruan tinggi. Meskipun begitu, peraturan ini hanya sebatas pendampingan, perlindungan, sanksi administratif, serta pemulihan korban di lingkup perguruan tinggi saja, yang artinya tetap saja diperlukan payung hukum yang lebih tinggi untuk memenuhi hak atas keadilan melalui sistem peradilan pidana melalui proses pelaporan/pengaduan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan yang haruslah bersifat khusus dari hukum acara peradilan pidana umum. Sedangkan pemenuhan hak-hak korban, keluarga korban, dan saksi diberikan sebelum, selama dan sesudah proses persidangan selesai, dengan tujuan membantu korban untuk pulih secara fisik, psikis, sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban oleh negara harus dilaksanakan sebagai jaminan agar korban terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Selain itu, pelaku kekerasan seksual harus ditindak setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya dan dijatuhi kewajiban yang berorientasi untuk mencegah pengulangan tindak pidana dan memulihkan korbannya. Berangkat dari urgensi tersebutlah pembentukan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh pemerintah perlu segera diupayakan sebagai upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan di atas. Ketersediaan payung hukum yang komprehensif diharapkan ke depan dapat mewujudkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Selain melalui pendekatan penal, tindak pidana kekerasan seksual juga harus dilakukan melalui kebijakan melalui sarana non-penal, diantaranya melalui pencegahan, yaitu segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dan keberulangannya. Pencegahan harus masuk dalam berbagai bidang urusan yang meliputi bidang pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi dan ketenagakerjaan, sosial dan budaya, teknologi informatika, keagamaan dan keluarga.
Penulis: Nela Ardianti (Rumah Keadilan Perwakilan Kediri)
Editor: MNV