Hukum Moralis Sebagai Manifestasi Nilai-Nilai Keadilan
Oleh:
Nadya Dara Prasetyo
Hukum tercipta sebagai resultante perilaku manusia, sehingga hukum juga harus dibingkai dengan perspektif makna yakni lebih dari sekedar mesin undang-undang yang sudah selayaknya menjadi alat untuk membahagiakan rakyat, bukan sebaliknya sebagai penindas. Hal tersebut senada dengan anjuran Prof. Satjipto Rahardjo untuk memahami hukum secara holistik bercermin dari kearifan falsafat Barat-Timur secara seimbang, mengutamakan hati nurani daripada ego nalar manusia yang miskin rasa keadilan dan sebagainya.[1]
Gustav Radbruch menelurkan gagasan yang kita kenal sebagai cita hukum atau idees des recht yang mana ia artikan sebagai tujuan ideal hukum yang semestinya harus dicapai. Adapun cita hukum tersebut adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Meskipun ketiga cita tersebut saling tercover, Gustav menyadari betul bahwa ketiganya tidak akan dapat berjalan secara berimbang dan beriringan. Sehingga ditunjuklah keadilan sebagai cita utama hukum karena condong kepada rakyat. Dimana bila hukum yang diterapkan adil, maka akan muncul kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar, yakni manusia. Sehingga apabila terjadi permasalahan hukum, maka hukumnya lah yang harus dikoreksi dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
Penerapan hukum bukanlah di ruang hampa yang bebas dari pengaruh faktor-faktor non hukum. Setiap detik perubahan terus terjadi dalam masyarakat dan kehidupan, oleh karenanya kita tidak boleh menutup diri. Dunia ini bergerak tanpa henti, demikian kata Heraclitus. Hukum bukanlah semata-mata rule and logic, tetapi juga behavior. Maka hukum tidak dapat diterapkan begitu saja hanya dengan membaca teks dan menggunakan logika peraturan saja, melainkan perlu didalami kembali makna hukum, misalnya makna sosial (social meaning). Melihat perkembangan masyarakat saat ini, penting rasanya untuk meninggalkan watak berhukum yang konservatif yang dicirikan antara lain dengan pembentukan hukum yang sentralistis, miskin partisipasi rakyat dan bersemainya penafsiran-penafsiran hukum secara tekstual sehingga menjadikan hakim sebagai tawanan undang-undang. Hukum haruslah bersukma keadilan dan berspirit kerakyatan.
Pada masa yang terus berkembang ini, hukum tidak dapat terus menerus dikeramatkan dengan mengacu pada Hans Kelsen dengan The pure theory of law-nya yang menstrerilkan hukum dari unsur non hukum. Ataupun pemikiran John Austin yang condong pada positivisme hukum, dengan pemahaman hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Bersifat praktis, sedikit bersifat monarki, dan ketegasan hukumnya kuat. Dengan kata lain yang membuat aturan adalah penguasa tanpa memikirkan kebaikan dan keburukannya bagi masyarakat. Orientasi hukum yang demikian itu menjadi perintah “command” dari pihak penguasa.[2] Sedangkan di sisi lain masyarakat harus taat dan patuh pada perintah tersebut dan dipaksa untuk menjadikan ini sebagai tanggung jawab moral. Yang mana dalam penerapannya sangatlah berpotensi penguasa melakukan kesewenang-wenangan dan tidak didengarnya aspirasi masyarakat. Karena hukum dibuat berdasarkan kemauan penguasa, bukan masyarakat. Tidak terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat pun menjadi kelemahan utama dalam ajaran Austin ini.
Hukum memerlukan asupan moral. Menurut J. S. Poerdarminta moral adalah suatu bentuk ajaran yang diturunkan secara terus menerus sehingga perbuatan tersebut mecerminkan arti kebaikan dan keburukan saat berperilaku.[3] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moral diartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral berperan sangat penting ketika para pelaku hukum dihadapkan pada pilihan mana yang benar dan salah dalam tataran etika. Etis tidak etis, adil tidak adil, dan manfaat mudharat.
Konsep hukum yang demikian, dikenal pula dengan hukum moralis yang maknanya dapat ditemukan dari beberapa aliran hukum, antara lain aliran hukum alam yang menyatakan bahwa hukum tidak bisa terlepas dari konteks moral dan etika. Ketika manusia hidup secara bersama, maka akan muncul norma atau yang lebih kita kenal dengan ubi societas ibi ius yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Kemudian aliran hukum sociological jurisprudence yang menegaskan bahwa hukum tidak bisa terlepas dari aspek kehidupan manusia, yakni aspek etika, moral, sopan santun, sosial, budaya, religi, politik, ekonomi, dsb. Dalam aliran tersebut juga terdapat penekanan bahwa hukum haruslah bernuansa sosial, yang mana dapat ditandai dengan digalinya jiwa rakyat atau volkgeist, kehidupan masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pada pembuatan hukum. Living law atau budaya hukum masyarakat setempat juga harus dilibatkan demi terpenuhinya kemanfaatan hukum sebagai bentuk penerapan teori utilitarians.
Secara sederhana hukum yang moralis dapat dikatakan sebagai hukum yang memberikan kebebasan dalam berfikir dan bertindak hukum, sehingga hukum dapat mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Maka sebagai konsekuensinya hukum akan selalu mengalami perubahan baik secara evolusioner maupun revolusioner. Dengan sendirinya pembacaan dan pemaknaan terhadap hukum tertulis pun juga harus selalu mengalami perubahan dengan acuan pada nilai dan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan dan penegakan hukum tidak boleh menjadi tawanan undang-undang. Supremasi hukum tidak bisa dimaknai sama dengan supremasi undang-undang.[4]
Dengan diterapkannya hukum yang moralis, maka tujuan dari hukum untuk membawa ketertiban, keteraturan, kebahagiaan serta kesejahteraan bagi manusia akan lebih dekat untuk terpenuhi sebagai bentuk kemanfaatan hukum itu sendiri. Di lain sisi, apabila hukum diterapkan secara positivis maka akan membawa hukum pada tebing kejumudan yang tidak dapat mengimbangi setiap pergerakan dan perkembangan yang ada dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh konkrit penerapan hukum moralis yang justru dapat menegakkan hukum dengan tidak hanya keadilan prosedural tetapi juga keadilan substantif dapat nampak dari kasus Prita Mulyasari terkait dengan pencemaran nama baik rumah sakit Omni Internasional, dimana ia akhirnya diputus bebas oleh hakim meskipun tuindakan yang ia lakukan sebenarnya telah memenuhi unsur-unsur delik Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam perkara tersebut tentu hakim turut mempertimbangkan posisi Prita sebagai seorang konsumen yang dicederai haknya, kemudian aspek sosiologis dari hukum termasuk dampak sosialnya, karena dalam kasus tersebut masyarakat turut membela Prita dengan pengumpulan uang recehan yang nilainya hampir mencapai 1 milyar sebagai bentuk pemberontakan rakyat atas peradilan yang legal formalistik.
Dalam perkara lain yakni pada kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun ia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya dan harus mendekam di penjara Karanganyar. Kemudian dalam kasus Cholil dan Basar Suyanto yang dipidana atas pencurian satu buah semangka di Kediri. Lalu kasus Mbok Minah yang dihukum pidana karena mengambil tiga biji kakao senilai Rp. 2.100, telah membuktikan bahwa hukum yang hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik dan diterapkan mentah-mentah secara tekstual justru tidak akan menemukan serta mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Hukum yang moralis bukanlah anti dengan undang-undang ataupun hukum yang digunakan sebagai dasar pembenaran pelanggaran hukum. Kekuatannya pun tidak untuk menepis kehadiran hukum positif. Sebaliknya, hukum yang moralis tetap menjunjung tinggi aturan hukum namun tidak mau terpasung oleh aturan itu apabila menemui kebuntuan legalitas formal. Dimana dengan hukum yang demikian, hukum selalu berusaha untuk menghadirkan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).
DAFTAR PUSTAKA
Epistema Institute, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta, Penerbit Epistema – HuMa.
Makkasau, Eddy Suryanto, Kelebihan dan Kelemahan Hukum Positivisme dan Hukum Progresif, dalam http://www.hukumpedia.com.
Student, Indonesia, Pengertian Moral Menurut Para Ahli, dalam http://www.indonesiastudent.com
[1] Epistema Institute, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta, Penerbit Epistema – HuMa. Hlm. 2.
[2] Eddy Suryanto Makkasau, Kelebihan dan Kelemahan Hukum Positivisme dan Hukum Progresif, dalam http://www.hukumpedia.com, diakses pada 25 Oktober 2017.
[3] Indonesia Student, Pengertian Moral Menurut Para Ahli, dalam http://www.indonesiastudent.com, diakses pada 25 Oktober 2017.
[4] Epistema, Op.cit. Hlm. 202