Perbincangan pemindahan Ibu Kota Negara mulai pertengahan 2019 hingga hari ini sangat memanas di tengah masyarakat. Berita yang sangat mengejutkan muncul pada Hari Senin, Tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi Ibu Kota baru, yakni di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Dua kota tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Kalimantan Timur. Ibu Kota Negara Baru ini telah memiliki nama baru per tanggal 17 Januari 2022 yang disebut dengan “Nusantara” atau yang dapat kita kenal dengan sebutan Ibu Kota Nusantara “IKN”. Pemilihan kata nusantara ini juga telah melalui pertimbangan yang sangat matang, ada aspek historis, sosiologis kemudian filosofis. Luas IKN di tengah Hutan yang berstatus Produksi telah di tetapkan seluas 256,1 ribu hektare. Di kawasan ini ada dua konsesi kehutanan masing-masing berstatus Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Alam (IUPHHK–HA) PT. International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (PT. IKU), dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Tanaman (IUPHHK–HT) PT. International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (PT. IHM).
Presiden memiliki alasan tersendiri mengapa memutuskan adanya perpindahan ibu kota negara yakni (1) Tidak bisa membiarkan terus menerus beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani, (2) Kontribusi ekonomi di Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atas Produk Domestik Bruto (PDB) sangat mendominasi. (3) Ingin menghapus istilah “Jawasentris” dan meningkatkan kontribusi pulau lain, (4) ketersediaan air besih menjadi salah satu fokus pemerintah dalam menentukan lokasi ibu kota baru, (5) Proporsi konsumsi lahan terbangun di pulau Jawa mendominasi, bahkan mencapai lima kali lipat dari Kalimantan. Alasan pemerintah melakukan pemindahan ibu kota negara dapat dimaklumi, menimbang bahwasanya Indonesia merupakan negara archipelago (kepulauan). Hal ini menjadi sebuah tantangan yang sangat besar bagi pemerintah welfarestate untuk mengupayakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di negeri ini.
Namun apakah menjadi adil dan menjamin kemanfaatan secara hukum bagi masyarakat dan alam di Indonesia ataupun dunia ketika perekonomian menggeser keberlangsungan jatung ekosistem dunia? Prioritas mana yang perlu didahulukan?. Hal ini menjadi pertanyaan yang sangat menarik di tengah masyarakat. Sebagaimana kita ketahui lokasi yang dipilih menjadi IKN adalah Hutan Produksi yang mana kepemilikannya dimiliki oleh Negara. Berangkat dari pengertian istilah hutan yang tercantum pada Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menjelaskan bahwa “Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang dominasi perpohonan dalam persekutuan alam lingkunganya, yang satu dengan lainya tidak dapat dipisahkan”. Sedangkan pada Pasal 1 angka 7, Hutan Produksi memiliki pengertian kawasan hidup yang mempunyai fungsi pokok memperoduksi hasil hutan. Dihubungkan juga dengan pengertian ekosistem pada Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memiliki makna sebagai “tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup”.
Pengertian sebagaimana disebutkan di atas, menjadi alasan besar bahwasanya lokasi IKN merupakan salah satu bagian kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup, sehingge berpotensi menimbulkan pengurangan lahan hutan sebagai ekosistem yaitu deforestasi. Deforestasi adalah bentuk kehilangan lahan hutan yang merupakan ancaman bagi mahluk hidup, luas hutan yang mengalami penurunan yang disebabkan oleh konvensi lahan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan yang menimbulkan dampak serius yaitu menimbulkan pemanasan global. Padahal Indonesia sendiri telah turut bergabung di dalam Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), yaitu sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Kebijakan rancangan perpindahan ibu kota negara berakibat mencederai konvensi international yang telah di tandatangani oleh Negara Indonesia dan tentunya deforestasi sangat berdampak meningkatkan perubahan iklim secara ekstrem di dunia.
Penulis: Xaviera Qatrunnada (Rumah Keadilan Perwakilan Kediri)
Editor: MNV