Malang – Rumah Keadilan, Sebagai bentuk penyuluhan hukum kepada masyarakat terkait permasalahan penggunaan APBD Kota Malang, Rumah Keadilan menginisiasi sebuah diskusi bertajuk “DANA POKIR MENGALIR SAMPAI JAUH?” yang dilaksanakan di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Rumah Keadilan (sabtu/10/3/2018) menghadirkan Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Malang Abdul Aziz, dan Aktivis dari Rumah Keadilan Syahrul Sajidin sebagai Narasumber.
Diskusi terbatas ini membahas dari istilah hingga arah penggunaan POKIR (Pokok Pikiran) yang mulai populer di Kota Malang pasca momen pada bulan Agustus-Oktober 2017. Dimana KPK melakukan penggeledahan di ruang DPRD Kota Malang dan menyebabkan hampir seluruh anggota DPRD Kota Malang diperiksa oleh KPK di POLRESTA Kota Malang.
“Pola-pola korupsi yang dilakukan di lingkungan dewan dirasa sama apabila dibandingkan dengan kasus yang lain” papar Syahrul, lanjutnya misalnya dalam penyusunan APBD terdapat proses di bawah meja yang merupakan bentuk pemufakatan bersama agar proses penyusunan kebijakan lebih mudah.
Pola kegiatan di bawah meja inilah yang kemudian ditutupi dengan alokasi dana POKIR (Pokok-Pokok Pikiran) oleh DPRD. Menjadi sebuah pertanyaan menarik dalam diskusi tersebut apakah momen peristilahan POKIR merupakan fenomena gunung ES?
Sebab istilah kegiatan dalam pemuafakatan jahat inilah yang berbahaya apabila dikemudian hari diklaim sebagai bentuk kebiasaan atau kewajaran oleh legislatif atau eksekuif. Karena membiasakan suatu kesalahan daripada menyalahkan suatu kebiasaan.
Dalam diskusi tersebut, Abdul Aziz menerangkan bahwa momen peristilahan POKIR yang disalahgunakan ini sebenarnya merupakan dampak dari adanya intervensi yang terjadi pada proses negosiasi oleh eksekutif-legislatif, dan intervensi tersebut berasal dari partai politiknya. Dan permasalahan demikian terjadi karena banyaknya pihak yang mengalami tuna-integritas
Paparan diskusi berdurasi kurang lebih selama 2 jam tersebut diakhiri dengan statemen Abdul Aziz yang mengkisahkan posisi generasi muda dalam menjaga totalitas idealismenya. Dia melanjutkan bahwa idealisme jangan sampai di otak saja tapi perutnya kapitalis, sehingga sifat idealis tersebut luntur sehabis dikasih makan (baca: suap). Dorongan tidak hanya diajukan bagi generasi muda untuk terus mengkritik, namun juga masuk kedalam sistem, masuk kedalam gelanggang politik. (mr)